Jauh sebelum ditetapkan sebagai calon wali kota Pilkada Surabaya, potret Eri Cahyadi sejak lama sudah terpasang di baliho-baliho di banyak sudut Kota Surabaya. Selain sosok dia, nampak pula figur Tri Rismaharini yang turut terpampang.
Eri memang dikenal dekat dengan Risma. Sejak 2001 ia sudah aktif menjadi birokrat di sejumlah kedinasan Pemerintah Kota Surabaya. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Bappeko Kota Surabaya.
Pengamat politik Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam, mengatakan upaya PDIP untuk mengeksploitasi atau menautkan simbol politik Risma ke jagoannya merupakan siasat memperoleh insentif elektoral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka mengeksploitasi atau menaut kuasa simbolik Risma bukan karena faktor ketidakpercayaan diri, tapi untuk memperoleh insentif elektoral," kata Surokim kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Hal ini juga menunjukkan bahwa faktor Risma masih sangat dominan. PDIP kata Surokim tahu betul, dan menggunakan itu sebagai kekuatannya.
"Itu menunjukkan faktor Risma masih dominan, sehingga kemudian PDIP menjadikan itu sebagai transfer power, itu sah-sah saja," ucapnya.
Kendati demikian, langkah Eri tak serta merta mudah. Kader baru PDIP itu tetaplah harus berjuang. Kedekatannya dengan Risma tak otomatis bisa jadi modalnya mendulang suara konstituen. Nama besar Risma justru bisa menjadi tantangan sekaligus beban bagi Eri.
"Ini beban sekaligus tantangan. Orang akan menunggu apakah Eri bisa keluar dari bayang-bayang Bu Risma. Eri harus bisa menjawab ekspektasi publik, bahwa dia tidak hanya suksesor, tapi dia punya kapasitas setara atau mungkin lebih progresif," kata Surokim.
![]() |
Pakar Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Kacung Marijan mengatakan, kerap munculnya figur Risma dalam berbagai media komunikasi politik Eri menunjukkan bahwa PDI Perjuangan masih bergantung pada pengaruh wali kota perempuan pertama di Surabaya itu.
"Karena Risma dianggap sebagai wali kota yang berhasil dan memiliki pendukung kuat," kata Prof Kacung, Jumat (25/9).
Risma masih jadi pertimbangan utama bagi PDIP untuk memilih siapa jagoannya dalam Pilkada Surabaya 2020. Jika bukan karena Risma, ia menyebut jalan Eri akan sulit.
"Ini karena memang figur Risma yang menjadi pertimbangan. Kalau Eri saja, ya enggak akan dipilih," ucapnya.
Tapi walau bagaimana pun Risma dan Eri adalah entitas yang berbeda. Meski telah berkali-kali disebut sebagai penerus bahkan secara khusus menandatangani pakta integritas dan berjanji akan melanjutkan program Risma, Eri haruslah meyakinkan masyarakat Kota Surabaya.
"Tapi apapun, Eri kan bukan Risma, walaupun dia orang kepercayaan tapi sekali lagi Eri bukan Risma," kata dia.
Publik Surabaya juga belum barang tentu bisa menerima Eri, dan mengaitkannya dengan keberhasilan Risma selama ini. Hal itu baru bisa dibuktikan pada 9 Desember 2020 nanti.
"Apakah publik di Surabaya bisa menerima Eri? Itu nanti yang akan kita uji 9 Desember nanti, apakah publik Surabaya akan memilih pilihan Risma atau tidak," kata dia.