Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono pesimistis pasangan calon kepala daerah akan patuh terhadap protokol kesehatan yang ditetapkan KPU sebagai aturan main Pilkada Serentak 2020.
Menurutnya, aturan KPU rawan diterabas karena tak merinci sanksi yang bisa menjamin paslon mematuhi aturan tersebut.
"Regulasi tidak dipatuhi, kalau sekadar kata-kata 'harus mengikuti protokol kesehatan' itu jadi tidak ada artinya lagi, tidak ada jaminan," kata Pandu dalam webinar yang digelar oleh LHKP Muhammadiyah secara daring, Rabu (30/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan tercatat banyak paslon melanggar aturan protokol kesehatan tersebut. Hingga hari ke-5 kampanye saja Bawaslu mencatat 18 pelanggaran protokol pencegahan Covid-19
Peraturan KPU Nomor 13 tahun 2020 tentang pelaksanaan Pilkada 2020 juga tidak memuat sanksi tegas berupa diskualifikasi bagi pasangan calon yang melanggar protokol virus corona. Aturan itu hanya mengatur sanksi mulai dari teguran tertulis, pembubaran kegiatan hingga pelaporan ke polisi.
Pandu meyakini para pasangan calon kepala daerah akan mencari celah untuk menyiasati aturan main tersebut. Sebab, pasangan calon sendiri harus aktif dalam menggalang dukungan masyarakat.
"Kan yang objektif adalah kemenangan. Kita tahu kemenangan semua cara bisa kita lakukan. Itulah situasi politik di Indonesia," kata Pandu.
"Meskipun dibatasi kerumunan, dibatasi 50 orang, pakai daring. Tapi pada proses itu ada rapat-rapat, kumpul-kumpul. Ada kegiatan-kegiatan supaya menggalang suara. Galang suara kan ga mudah," tambah dia.
Selain itu, Pandu menilai Pilkada merupakan suatu agenda negara yang sangat serius. Mestinya, kata dia, pemerintah terlebih dulu membuat pelbagai rencana agar pandemi corona bisa dikendalikan sebelum gelaran Pilkada digelar.
"Lah itu Pak Tito semangat banget harus Desember. Ya oke. Boleh. Bagus. Harusnya itu jadi dorongan untuk berhasil mengendalikan [corona] sejak kemarin-kemarin," kata dia.
Justru sebaliknya, lanjut Pandu, kini pemerintah tetap melanjutkan Pilkada di tengah kondisi pandemi yang belum terkendali. Alhasil, tambal sulam kebijakan terus dibuat oleh pemerintah dan penyelenggara pemilu agar Pilkada bisa tetap digelar dengan menerapkan protokol kesehatan.
"Sekarang kan bikin aturan-aturan supaya protokol kesehatan dipatuhi. Ini jadi tidak jelas. Apakah nanti Desember [paslon] gak sakit? Atau apakah masih hidup? Karena virus ga kenal orang. Apalagi paslon harus aktif," kata dia.
Melihat carut marutnya persoalan itu, Pandu menilai sudah sepatutnya pemerintah menunda pelaksanaan Pilkada 2020. Bila ingin melanjutkan, kata dia, seharusnya pemerintah mencabut status darurat kesehatan masyarakat yang masih berlaku.
Presiden Joko Widodo menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat terkait pandemi virus corona pada Maret 2020 dan masih berlaku sampai saat ini.
"Jadi Indonesia sampai sekarang itu masih berstatus bencana nasional dan masih berstatus kedaruratan kesehatan masyarakat. Kalau pilkada mau dilaksanakan cabut dulu itu statusnya," kata Pandu.
Senada, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Amiruddin Al-Rahab menyatakan wilayah yang memiliki fasilitas kesehatan terbatas harus memikirkan kembali penundaan Pilkada di daerah tersebut. Sebab, penularan virus corona bisa terjadi sangat cepat.
Ia lantas mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab bila terjadi lonjakan penularan corona akibat Pilkada di daerah yang minim fasilitas kesehatannya tersebut.
"Kalau terjadi tingkat tinggi penyebaran, gimana tanganinya? Siapa yang tanggung jawab? Apa KPU siapkan kontingensi plan naiknya kasus infeksi?" Kata Amir.
Amir menilai zona-zona aman penularan virus corona yang dibuat oleh pemerintah tak selamanya bisa berlaku.
Ia memandang wilayah yang ditetapkan sebagai zona kuning dan hijau yang dikeluarkan Satgas Covid-19 tak berarti wilayahnya sudah aman. Sebab, wilayah zonasi risiko tersebut bisa berubah cepat bila kasus corona meningkat.
"Mumpung waktu masih ada, ini bisa kita rumuskan untuk ditunda tahapannya. Sehingga pilkada lebih berkualitas dan rakyat lebih pede," kata Amir.
(rzr/wis)