Sejumlah fraksi DPRD DKI Jakarta mengkritik kebijakan Gubernur DKI Anies Baswedan yang kembali mengizinkan pasien positif Covid-19 isolasi mandiri di rumah. Kebijakan ini dinilai plin-plan karena sebelumnya Anies melarang pasien positif Covid-19 tanpa gejala melakukan isolasi mandiri di rumah.
"Aturan kok plin-plan ya. Rakyat yang tanpa gejala itu perlu perhatian dan bantuan, bukan kebijakan plin-plan," kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD DKI Jakarta Basri Baco saat dihubungi, Jumat (2/10).
Basri mempertanyakan prosedur pengawasan dari tenaga kesehatan terhadap pasien positif Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri di rumah. Menurut dia, pasien yang menjalani isolasi mandiri belum tentu disiplin menjalankan aturan maupun protokol kesehatan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Anggota Komisi E itu juga menyinggung pemasangan pengumuman di rumah pasien positif Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri. Menurut dia, hal tersebut sia-sia dan tidak efektif.
"Utamanya bukan dipasang (pengumuman), tapi dikontrol dan diedukasi, supaya tidak nambah penularan di dalam rumah tersebut dan diperhatikan serta dikontrol," ujarnya.
Anggota Fraksi NasDem, Jupiter juga menyayangkan langkah Pemprov DKI yang berencana memasang pengumuman tersebut. Ia khawatir nantinya pasien tidak melaporkan hasil tes tersebut ke petugas kesehatan.
"Saya khawatir justru masyarakat tidak akan melapor ke Gugus Tugas Covid-19 karena takut dan malu, karena prosedur harus dengan pemasangan stiker di rumah untuk prosedur isolasi mandiri," ujar Jupiter.
Ia menyatakan, tindakan yang dilakukan seharusnya adalah pengecekan secara berkala dengan pengawasan dan kontrol yang benar-benar dijalankan.
Sementara itu, Ketua Fraksi PDI Perjuangan Gembong Warsono menyebut, kebijakan Anies soal isolasi mandiri ini berubah-ubah sesuai selera. Padahal, kebijakan larangan isolasi mandiri yang sebelumnya urung dijalankan dengan maksimal.
"Kan sebelumnya sudah dikeluarkan aturan yang melarang masyarakat melakukan isolasi mandiri, ini saja belum dijalankan maksimal, tapi sekarang gubernur mengeluarkan aturan baru yang membolehkan isolasi mandiri di rumah dengan berbagai syarat," kata Gembong.
Gembong khawatir kebijakan ini justru memunculkan kembali klaster penyebaran virus corona di rumah.
Selain itu, Gembong juga tak setuju dengan pemasangan pengumuman di rumah pasien Covid. Hal tersebut kata dia, akan membuat psikologi masyarakat sekitar terganggu dan memunculkan stigma bagi pasien itu sendiri.
"Stiker (pengumuman) itu akan membuat stigma negatif kepada yang bersangkutan, karena pemahaman masyarakat terhadap pandemi Covid-19 berbeda-beda, dikhawatirkan kondisi seperti ini akan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat," ujar Gembong.
"Sehingga tujuan memutus rantai penyebaran Covid-19 justru tidak tercapai. Bahasa kampung saya stiker itu mengada-ada aja, ono-ono wae," kata dia menambahkan.
Larangan isolasi mandiri bagi pasien positif Covid-19 dicabut seiring terbitnya Keputusan Gubernur Nomor 979 Tahun 2020 dan Keputusan Gubernur Nomor 980 Tahun 2020. Dalam beleid tersebut, warga atau pasien positif yang memiliki rumah atau fasilitas yang memadai masih bisa melakukan isolasi mandiri.
Sementara, bagi pasien positif tidak memiliki rumah atau fasilitas yang memadai untuk menjalani isolasi mandiri akan dirujuk ke fasilitas isolasi terkendali yang disediakan pemerintah. Jika pasien menolak, maka akan dijemput paksa oleh petugas kesehatan, TNI-Polri, dan Satpol PP.
(psp/dmi)