Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai pemerintah telah berkhianat kepada masyarakat dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Ciptaker).
DPR dijadwalkan mengesahkan RUU Ciptaker di tingkat paripurna hari ini. Koordinator Nasional JATAM Merah Johansyah mengatakan pengesahan itu bukti pemerintahan dikendalikan rezim diktator.
"Ini jelas berbahaya sekali. JATAM melihat bahwa ini tanda-tanda kediktatoran. Salah satunya pengambilan keputusan yang meninggalkan rakyat," kata Johan kepada CNNIndonesia.com, Senin (5/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Johan menilai pengesahan RUU Ciptaker yang terburu buru ini seperti kado kecil dari dewan dan eksekutif kepada para pengusaha. Pengesahan yang terburu buru ini sarat dengan politik terima kasih.
"Kami melihat ini seperti kado atau tanda terima kasih kado ke sponsor politik termasuk juga prosesnya," jelas dia.
"Karena banyak sekali kepentingan oligarki terutama kepada pengusaha tambang sejak pemilu lalu," lanjut dia.
Tak hanya kepada dewan, Johan juga menilai pemerintah turut bersekongkol dengan dewan untuk memuluskan pengesahan RUU Ciptaker. Padahal kata Johan, tak ada suara rakyat yang mewakili peraturan tersebut.
"Ini melibatkan Istana. Ini kan riwayatnya itu asal usulnya inisiatif pemerintah yang diajukan ke DPR. Jadi ini keduanya bersekongkol mengkhianati rakyat," kata dia.
Atas kondisi tersebut JATAM, kata Johan, mengajak masyarakat untuk melayangkan mosi tidak percaya kepada eksekutif dan legislatif. Tak hanya JATAM, Johan bilang sejumlah anggota Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) bakal bergerak melawan pemerintah.
"Kediktatoran baru harus kita lawan semua. Masyarakat harus menyatakan mosi tidak percaya ini sesuai dengan pengkhianatan DPR dan pemerintah yang berkhianat," tutup dia.
RUU Ciptaker menjadi polemik karena ada sejumlah pasal yang dianggap merugikan masyarakat. Pertama soal penghapusan upah minimum kota/kabupaten bersyarat dan upah minimum kota/kabupaten. Kedua, pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan.
Ketiga, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang menyatakan tidak ada batas waktu kontrak atau kontrak seumur hidup. Keempat, karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup. Kelima, jam kerja yang eksploitatif atau tanpa batas jelas dinilai merugikan fisik dan waktu para buruh.
Keenam, penghilangan hak cuti dan hak upah atas cuti. Dan ketujuh, terancam hilangnya jaminan pensiun dan kesehatan karena adanya kontrak seumur hidup.
(ctr/gil)