Tim Advokasi untuk Demokrasi dari LBH Jakarta, Aprilia Lisa menilai pelbagai suara dan aspirasi masyarakat sudah diabaikan pemerintah dan DPR dalam proses pembahasan omnibus law Undang-undang (UU) Cipta Kerja yang diketok DPR kemarin.
Aprilia menilai kemarahan yang muncul dari masyarakat menyusul pengesahan UU Cipta Kerja merupakan hal yang wajar, karena pembuat legislasi telah mengacuhkan pelbagai aspirasi selama ini.
"Mereka mengacuhkan suara rakyat. Dan marah itu ekspresi ketika mereka sebagai warga negara yang punya hak. Mereka sebagai warga negara yang harus dibela oleh DPR dan pemerintah, namun pada saat proses omnibus law dibuang jauh-jauh," kata Aprilia dalam konferensi pers secara daring, Selasa (6/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aprilia menilai masyarakat yang ingin melaksanakan aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja sudah dijamin dalam konstitusi. Oleh karena itu, pihaknya berpandangan aparat tak perlu menghalang-halangi kebebasan hak menyatakan pendapat dari para buruh tersebut.
Lebih lanjut, Ia memandang kelompok buruh dan elemen masyarakat lain sudah mengerti risiko yang terjadi bila melakukan aksi demonstrasi di tengah pandemi. Namun, Aprilia menyatakan situasi di Indonesia saat ini sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Masyarakat yang menolak, kata dia, pasti memikirkan sesuatu yang lebih luas akan dampak buruk dari materi UU Ciptaker yang telah disahkan itu.
"Dan mereka pasti berpikir, bagaimana anak saya bisa bersekolah nanti? Bagaimana tanah adat saya ke depan? Bagaimana agar bumi tetap sehat dan terhindar dari bencana? itu yang bikin mereka turun ke jalan," kata Aprilia.
Sementara itu, Koordinator Badan Pekerja KontraS Fatia Maulidiyanti menyatakan DPR melanggar prinsip HAM dengan tak melibatkan partisipasi publik dalam pembahasan RUU Cipta Kerja selama ini.
"Itu dilakukan diam-diam dan bertentangan dengan prinsip HAM yang tak pertisipatif. DPR telah melakukan keputusan dan langkah yang bertentangan dng kepentingan publik dan tak mewakilkan rakyat sendiri," kata Fatia.
Lebih lanjut, Fatia memandang penyelenggaraan aksi demonstrasi di tengah pandemi menimbulkan dilema tersendiri. Meskipun demikian, alasan pandemi juga tak dibenarkan bagi aparat untuk menggugurkan kebebasan publik untuk menyuarakan aspirasinya.
Ia lantas mencontohkan banyak negara-negara lain yang rakyatnya menggelar aksi demonstrasi di tengah pandemi saat negara mengalami kegentingan mendesak.
"Ini bisa diatasi oleh cara-cara tertentu. Dan tak perlu sampai mengeluarkan telegram oleh Kapolri untuk melarang buruh berdemonstrasi," kata dia.
Untuk diketahui, Kapolri Jendral Idham Aziz menerbitkan telegram nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 lalu. Beberapa poin telegram itu meminta agar jajaran kepolisian tidak mengizinkan kegiatan demo buruh pada 6-8 Oktober 2020.
![]() |
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut Pemerintah dan DPR telah bersama-sama menciptakan krisis sosial dan krisis lingkungan yang semakin parah melalui pengesahan Undang-undang Omnibus Law Ciptaker jadi undang-undang.
Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyebut, Pemerintah dan DPR telah bersama-sama menciptakan ketidakadilan, bahkan kedua lembaga negara itu telah mengkhianati amanat UUD 1945 yang memberikan mandat, diantaranya untuk menciptakan kesejahteraan bersama serta mencerdaskan kehidupan berbangsa.
"Melalui Undang-undang ini, Pemerintah dan DPR akan menciptakan ketidakadilan, krisis sosial dan krisis lingkungan hidup semakin parah," kata Susan melalui rilis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).
Susan menerangkan bagi kehidupan pesisir, di laut bahkan di pulau-pulau kecil yang tersebar di Indonesia undang-undang ini menjadi ancaman yang sangat besar. Ia menyatakan para investor mendapat kemudahan investasi tanpa ada persyaratan sosial, ekologis, dan budaya.
"Dampaknya, kehancuran bagi kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan semakin masif terjadi," tegas Susan.
![]() |
Pihaknya pun menduga berkat UU Ciptaker akan terjadi eksploitasi sumber daya alam di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan semakin masif.
Susan juga menyinggung soal tak dilibatkannya masyarakat bahari yang terdiri dari nelayan tradisional atau nelayan skala kecil, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, dan masyarakat adat pesisir yang semakin terancam hidupnya dalam pembahasan RUU itu.
"UU Cipta Kerja akan terus menggusur ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir atau masyarakat bahari lainnya. Ini adalah perampokan terhadap kedaulatan masyarakat bahari," kata dia.
Untuk itu, Susan mengajak seluruh elemen masyarakat terus melakukan penolakan serta perlawanan terhadap UU Cipta Kerja.