Tuntutan atas ketidakadilan juga memicu mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan di Surabaya dan Jakarta. Juni 2020, pemerintah kembali dihadang kritik perihal tuntutan terhadap tujuh tahanan politik Papua di Pengadilan Negeri Balikpapan.
Tahanan asal Papua tersebut dijerat hukum karena dugaan terlibat demonstrasi yang memprotes aksi rasialisme di asrama mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur pada pertengahan 2019. Mereka ditahan hingga berlanjut menjadi terdakwa dan dituntut penjara mulai 5 sampai 17 tahun.
Masyarakat yang tergabung dalam Komite Pembebasan Tahanan Politik Papua beraksi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, 15 Juni. Mereka meminta tujuh tapol Papua itu segera dibebaskan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami menuntut kepada negara untuk membebaskan tujuh tapol Papua tanpa syarat, tarik militer dari Papua dan berikan akses jurnalisme asing di Papua," kata koordinator aksi, Aldi.
Aksi serupa juga digelar di Surabaya sehari kemudian, 16 Juni. Puluhan massa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua berkumpul di depan Gedung Negeri Grahadi menyerukan ketidakadilan pemerintah terhadap rakyat Papua.
"Orang Papua punya ingatan dan ikatan emosional, satu luka semua rasa, satu sedih semua sedih, satu menangis semua menangis," seru orator aksi.
Juru bicara AMP Surabaya Sam Kayame menyebut ancaman penjara yang diberikan kepada tujuh tahanan asal papua itu diskriminatif. Ini berkaca pada penjatuhan hukuman kepada pelaku aksi rasialisme di asrama mahasiswa Papua, Surabaya yang tak sebanding.
Syamsul Arifin dan Tri Susanti, pelaku pengujar rasialisme kepada mahasiswa di asrama tersebut dijatuhi hukuman 5 dan 7 bulan penjara. Jauh dari tuntutan kepada tujuh tahanan politik yang memprotes aksi kedua individu tersebut.
"Ini tidak setimpal, bagaimana hukuman dari pelaku rasisme lebih ringan dari korban rasis," tambah Sam.
Selang beberapa bulan, masyarakat Papua kembali menyuarakan kritik kepada pemerintahan Jokowi. Kali ini mereka menolak otonomi khusus Papua Jilid II. Ribuan massa berkumpul di depan Polres Nabire, Papua, 26 September.
Mulanya mereka mau beraksi di depan kantor bupati, namun diadang polisi. Juru bicara aksi, Jefry Wenda menyebut penerapan otsus yang sudah berjalan 19 tahun ini tak memberikan dampak positif ke masyarakat Papua. Termasuk dana otsus yang digelontorkan.
Unjuk rasa menuntut hal serupa juga digelar oleh puluhan mahasiswa Universitas Cendrawasih pada 28 September 2020 di Jayapura, Papua. Namun aksi tersebut dibubar paksa oleh aparat gabungan TNI dan Polri. Langkah ini dikritik Perkumpulan Advokat HAM Papua (PAHAM).
Mereka mengungkap pembubaran paksa yang dilakukan aparat disertai kekerasan dan penembakan kepada demonstran. Padahal, menurutnya larangan pembubaran demonstrasi secara paksa diatur pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
"Polisi juga memukul dua mahasiswa hingga terluka dan berdarah, yaitu Yabet Lukas Degei dan Selius Wanimbo. Yebet Lukas Degei dipukul di bagian kepala belakang hingga kepalanya terluka dan berdarah, sedangkan Selius Wanimbo dipukul dengan popor senjata di bagian badannya hingga terluka dan berdarah," ungkap advokat PAHAM, Gustaf Kawer.
Menanggapi ragam demonstrasi, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD mengklarifikasi tidak ada perpanjangan otsus yang dilakukan pihaknya. Yang ada adalah perpanjangan dana otsus yang bakal berakhir tahun depan.
"Otsus Papua sudah berlaku dan sudah disepakati secara nasional, secara komprehensif. Sekarang kita bicara dananya karena dana itu akan berakhir tahun depan," katanya, 2 Oktober.
Klaim perlakuan diskriminasi dan rasialisme kepada rakyat Papua banyak disuarakan masyarakat sipil hingga aktivis yang gencar membela polemik HAM di Bumi Cenderawasih. Salah satu sosok yang erat kaitannya dengan rakyat Papua adalah Veronika Koman.
Perempuan yang akrab disapa Vero itu banyak mengadvokasi perkara yang dialami rakyat Papua. Salah satunya mendampingi kasus rasialisme di asrama mahasiswa papua di Surabaya. Ia juga vokal menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah terkait Papua di akun Twitter.
Buntutnya Vero ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi penghasut ragam demonstrasi dan kerusuhan di Papua yang terjadi pertengahan tahun lalu.
Indonesia menetapkan Vero sebagai buronan interpol karena berada di luar negeri. Ia pun didesak mengembalikan beasiswa yang didapat dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan ketika melanjutkan studi S2 di Australia.
"Kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Adapun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR 773,876,918," ungkap Vero.
Tantangan ini diamini masyarakat Papua yang tergabung dalam Tim Solidaritas Rakyat Papua. Mereka urunan dan berhasil mengumpulkan setiap sen yang diminta pemerintah kepada Vero. Uang tersebut diantarkan ke kantor Kemenko Polhukam, 16 September.
"Ini menjadi pesan bahwa tidak ada utang lagi dari mbak Veronica Koman ke Kementerian Keuangan," pungkas juru bicara Jaringan Masyarakat Sipil, Suarbudaya Rahadian.
(fey/ain)