Perempuan-perempuan di Balik Sumpah Pemuda

CNN Indonesia
Selasa, 27 Okt 2020 11:43 WIB
Beberapa nama perempuan disebut hadir dalam Kongres Pemuda II--yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda, di antaranya Nona Poernomowoelan dan Siti Soendari.
Ilustrasi. Gambaran suasana Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda. (Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia --

Hari itu Ahad, 28 Oktober 1928, di balik mimbar di Gedung Oost-Java Bioscoop, Nona Poernomowoelan menyampaikan buah pikir di hadapan para pemuda yang terlibat Kongres Pemuda II--yang melahirkan Sumpah Pemuda.

"Gadis yang besar pengabdiannya dalam membina angkatan muda di bidang pendidikan itu dalam prasarannya menyatakan bahwa usaha mencerdaskan bangsa haruslah disertai usaha menciptakan suasana tertib dan disiplin dalam pendidikan," demikian tulis Bambang Sularto dalam buku berjudul 'Wage Rudolf Supratman".

Poernomowoelan jadi pembicara pertama, setelah dua pembicara utama yakni Ki Hajar Dewantara dan Jokosarwono berhalangan hadir. Selanjutnya giliran Sarmidi Mangunsarkoro, seorang tokoh pendidik yang bicara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laman Museum Sumpah Pemuda hanya menyebut, itu hari Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Selain itu, harus pula ada keseimbangan pendidikan di rumah dan di sekolah. Anak, juga harus dididik secara demokratis.

Rapat di gedung itu memang membahas masalah pendidikan. Adapun Kongres Pemuda II diketahui diselenggarakan di tiga lokasi lantaran pengawasan dari intel dan polisi Belanda saat itu.

Kesaksian Wage Rudolf Supratman, siang itu paling tidak ada 10 perempuan yang hadir. Empat di antaranya sudah ia kenal, Nona Poernomowoelan, Nona Siti Soendari, Nona Tumbel dan Nona Suwarni.

"Ia tersenyum ketika melihat para pemudi yang hadir ternyata lebih banyak bila dibanding dengan yang dilihatnya pada waktu Kongres Pemuda Indonesia Pertama tahun 1926 yang lalu," tulis Bambang dalam biografi Wage Rudolf Supratman.

Suasana di Museum Sumpah Pemuda Jakarta. (CNN Indonesia/Fitri Chaeroni)Suasana di Museum Sumpah Pemuda Jakarta. (CNN Indonesia/Fitri Chaeroni)

Perhatian terhadap gerakan perempuan sebetulnya sudah ditunjukkan sejak Kongres Pemuda I pada 1926. Saat itu, Mohammad Tabrani selaku ketua kongres mengemukakan bahwa kalangan panitia setuju untuk membahas isu perempuan secara khusus.

"Di kalangan panitia mereka serta-merta setuju untuk meluangkan satu malam khusus untuk membicarakan kepentingan yang menyentuh saudari-saudari kita. Kesadaran tentang itu mulai tinggi di kalangan lelaki," tulis Daniel Dhakidae dalam buku 'Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru".

Kendati, kala itu pernyataan tersebut dianggap masih terdengar bernada agak patriarkis.

Tak banyak literatur yang menceritakan detail soal perempuan-perempuan di Kongres Pemuda. Baik yang pertama ataupun kedua.

Soal Nona Poernomowoelan misalnya, beberapa sejarawan menyebut ia mewakili Jong Java. Tapi yang diketahui pasti, Poernomowoelan adalah salah satu perwakilan pemuda Taman Siswa--kelompok yang kala itu lantang menyuarakan pendidikan untuk kelompok pribumi.

Maka tak heran ketika pidatonya juga menyinggung soal tekad memajukan pendidikan pribumi, terutama semangat untuk membangun peradaban bangsa yang sadar membaca dan menulis. Ia juga semangat mengajarkan baca tulis kepada anak-anak yang tidak bisa mendapatkan pendidikan dasar.

Selain empat orang perempuan yang disebut WR Supratman tadi, Kongres pemuda II juga dihadiri Emma Poeradiredja, Johanna Masdani Tumbuan, dan Dien Pantaouw.

Tidak banyak arsip yang menjelaskan asal muasal dan peran masing-masing tokoh perempuan tersebut. Hanya diketahui, Nona Tumbel merupakan perwakilan Jong Celebes. Sementara Dien Pantouw adalah Dina Marananta Pantouw perwakilan Jong Celebes, istri dari Sunario Sastrowardoyo--yang juga merupakan tokoh Sumpah Pemuda.

Disebutkan, meski tak banyak berbicara dalam Kongres Pemuda II, perempuan-perempuan tersebut aktif dalam pergerakan di daerahnya untuk mencapai persatuan bangsa.

[Gambas:Video CNN]

Hambatan Bahasa dan Lahirnya Kongres Perempuan

Sejarawan Universitas Kristen Satya Wacana, Galuh Ambar Sasi mengungkapkan kesulitan berbahasa menjadi salah satu tantangan tersendiri dalam Kongres Pemuda II pada 1928 silam.

Ambar menjelaskan, tidak banyak pemuda kala itu yang bisa memahami bahasa Melayu (bahasa Indonesia)--yang belakangan masuk dalam salah satu ikrar Sumpah Pemuda.

Maka, tepat dua bulan setelah berjanji menggunakan bahasa Indonesia, pada 22 Desember 1928 Johanna Masdani Tumbuan mengajak para perempuan mengadakan pertemuan untuk belajar bahasa Melayu.

Ajakan itu disambut baik oleh para perempuan lain. Bersamaan dengan itu, para perempuan tersebut lantas membentuk sebuah Kongres Perempuan. Tujuan awalnya, untuk mempelajari bahasa Melayu.

Namun saat itu, perjalanan menuju Batavia tidak mudah dilakukan, setiap orang harus memiliki izin untuk pergi ke Batavia yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Karena keterbatasan perizinan tersebut, Kongres Perempuan pun diadakan di Yogyakarta.

"Setelah Kongres Pemuda II itu baru ada gerakan perempuan, awalnya mereka ingin bisa bahasa Melayu karena sudah jadi bahasa persatuan, mereka menyewa guru bahasa Melayu sehingga bisa berbicara bahasa Melayu," terang Ambar pada CNNIndonesia.com.

Setelah memahami bahasa Melayu, para perempuan yang tergabung dalam Kongres Perempuan mulai bergerak menyebarluaskan bahasa Melayu di Hindia. Lantas kemudian, usai belajar dan paham, pertemuan Kongres Perempuan selanjutnya pun menggunakan bahasa Melayu.

Ambar mengatakan, ada beberapa catatan pidato Siti Soendari menggunakan bahasa Melayu dalam Kongres Perempuan pertama. Dalam pidatonya, Siti Soendari mengatakan, putri Indonesia harus berani menggunakan bahasa Indonesia.

"Kami tidak memakai bahasa Belanda atau bahasa Jawa bukan karena kami merendahkan bahasa ini atau mengurangkan nilainya, akan tetapi jika di antara puan yang mengunjungi kongres pemuda atau membaca hasilnya mungkin masih ingat, oleh karena itu, sebagai putri Indonesia, berani memakai bahasa Indonesia di hadapan rakyat ini," ucap Ambar, mengutip pidato Siti Soendari.

Kongres Perempuan ke depan lantas mulai membahas pelbagai problem dan hak-hak perempuan di masa kolonial. Terutama, hak menikah dan mendapatkan pendidikan.

Selain itu, Kongres Perempuan juga menyepakati bahwa perempuan harus ikut serta dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan menuju kemerdekaan Indonesia.

Karena itu kemudian munculnya Kongres Perempuan bisa dikatakan tidak lepas dari Kongres Pemuda. Sebab melalui kongres pemuda, para perempuan yang hadir menyadari seberapa besar peranannya dalam mencapai kemerdekaan.

(mel/nma)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER