
Putusan PTUN: Jaksa Agung Melawan Hukum soal Tragedi Semanggi

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memutuskan bahwa Jaksa Agung ST Burhanuddin melakukan perbuatan melawan hukum melalui pernyataannya dalam forum Rapat Kerja DPR RI pada 16 Januari 2020 tentang Tragedi Semanggi I dan Semanggi II.
Kala itu, Jaksa Agung mengikuti rapat bersama Komisi III DPR RI. Dia menyatakan bahwa insiden Semanggi I dan II bukan merupakan sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga Komnas HAM seharusnya tidak menindaklanjuti kasus tersebut.
Pernyataan itu, kemudian digugat oleh Keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II ke PTUN Jakarta pada Selasa (12/5), salah satunya Maria Katarina Sumarsih, ibu BR Norma Irmawan, korban penembakan Tragedi Semanggi, 13 November 1998.
"Mengabulkan gugatan para penggugat seluruhnya," bunyi amar putusan Hakim PTUN sebagaimana didapatkan CNNIndonesia.com dari kuasa hukum penggugat, Trioria Pretty pada Rabu (4/11). Keputusan itu juga sudah diunggah di laman resmi Mahkamah Agung.
Dalam amar putusan poin kedua, dirincikan oleh Hakim bahwa tindakan yang dinyatakan melawan hukum adalah saat Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan terkait insiden tersebut di forum Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI.
Oleh sebab itu, majelis hakim meminta agar Jaksa Agung sebagai pihak tergugat membuat pernyataan kembali dalam forum yang sama terkait dengan hal yang menjadi polemik itu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
![]() |
"Mewajibkan tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan yang menyatakan sebaliknya," kata Hakim dalam amar putusannya.
Kejaksaan Agung sedang berkoordinasi untuk menyikapi putusan PTUN tersebut. "Saya minta waktu untuk confirm dulu ke jaksa penuntut umumnya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono kepada CNNIndonesia.com.
Sebelumnya, Pretty mengatakan selama persidangan terungkap bahwa perbuatan Jaksa Agung ST Burhanuddin bukan sekadar kutipan biasa melainkan kebijakan. Hal itu karena diucapkan dalam kapasitas jabatan dan dalam forum resmi di hadapan Komisi III DPR.
Apalagi dalam persidangan, kata Pretty, saksi dari Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa pernyataan Jaksa Agung adalah perbuatan matang yang telah dipersiapkan terlebih dahulu dan diketik dalam laporan yang akan diserahkan kepada Komisi III DPR.
Sebagai sebuah kebijakan, menurutnya, pernyataan tersebut memiliki konsekuensi seperti ketidakpastian hukum bagi korban dan keluarga korban.
"Kedua, tidak diungkapnya kasus ini meniadakan tanggung jawab negara atas pembunuhan TSS (Trisakti, Semanggi I-II) dan melanggengkan impunitas di Indonesia," ucap Pretty.
Gugatan ini merupakan tindak lanjut dari keberatan administratif yang telah disampaikan keluarga korban, didampingi oleh Advokat dari LBH Jakarta, kepada Jaksa Agung pada 13 Februari 2020. Namun, dalam surat balasan tertanggal 19 Februari 2020, Jaksa Agung tidak ingin mencabut pernyataannya.
(mjo/pmg)[Gambas:Video CNN]