Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Napoleon Bonaparte, terdakwa kasus penghapusan nama buronan Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO), mengaku dizalimi oleh pejabat negara atas perkara yang menjeratnya. Ia tidak mengungkapkan secara gamblang siapa pejabat negara yang dimaksud.
Hal itu disampaikan Napoleon dalam sidang lanjutan dengan agenda pembacaan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Napoleon pun menyatakan siap membuktikan salah tuduhan soal penerimaan uang sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
"Saya merasa dizalimi melalui teks oleh pemberitaan statement pejabat negara yang salah tentang tuduhan menghapus red notice," tegas Napoleon dalam persidangan.
"Tuduhan penerimaan uang saya siap untuk dibuktikan didasari rencana untuk menzalimi kami sebagai pejabat negara," lanjutnya.
Napoleon diadili atas kasus penghapusan nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Ia berpendapat bahwa DPO bukan merupakan kewenangannya selaku mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri.
Lagi pula, menurutnya, status red notice atas nama Djoko Tjandra nomor: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak 2014 karena tidak ada perpanjangan dari Kejaksaan RI sebagai lembaga peminta.
"Perlu diketahui bahwa red notice dan DPO pada Simkim Imigrasi adalah dua hal yang berbeda, sehingga terhapusnya nama Djoko Soegiarto Tjandra dari DPO Simkim Imigrasi bukanlah kewenangan dari klien kami terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte," demikian dikutip dari surat eksepsi penasihat hukum Napoleon yang telah dibacakan, Senin (9/11).
Dalam perkara ini, Napoleon didakwa menerima suap sebesar Sin$200 ribu dan US$270 ribu atau sekitar Rp6 miliar dari terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.
Suap itu dimaksudkan agar Napoleon menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
(ryn/wis)