Langkah Dadang, 65 tahun, sedikit gontai saat memasuki sebuah Warung Tegal berukuran 5x5 meter di Bukit Duri Tanjakan, Jakarta Selatan. Sambil memukul meja Warteg yang terbuat dari triplek, nada suaranya meninggi.
"Hoaks itu, hoaks," kata Dadang.
Ijah, pemilik warteg, hanya menatap singkat sambil tersenyum. Sejurus kemudian Dadang mengeluh. Ia kesal dengan perubahan status Bendung Katulampa, sehari sebelumnya, tepatnya 21 September 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata Dadang, biasanya status Siaga Satu Katulampa selalu diikuti banjir di Bukit Duri Tanjakan. Namun, tumben, kali itu perubahan status Siaga Satu tidak diikuti banjir.
Karena kejadian tersebut, ia menuding informasi soal status Siaga Satu Bendung Katulampa tak lebih dari berita bohong atau hoaks.
Ia merasa dikerjain oleh informasi status Bendung Katulampa yang diterimanya, karena sudah tidak tidur hampir semalaman, demi mengawasi lapak air isi ulang miliknya, dari terjangan banjir.
"Saya juga sudah beres-beres barang, tapi enggak banjir, biarin aja," kata Ijah mencoba menenangkan Dadang.
Kewaspadaan Ijah dan Dadang di Bukit Duri Tanjakan juga dirasakan warga Kebon Pala. Mereka heboh ketika status Bendung Katulampa diumumkan Siaga Satu. Belum lagi, berita banjir bandang di Sukabumi kerap melintas di televisi dan media online. Warga pun segera berusaha menyelamatkan barang-barangnya, begitu mendapat informasi: Bendung Katulampa Siaga Satu.
Air memang mulai masuk ke permukiman saat subuh. Namun, warga mengaku lega karena banjir yang mereka khawatirkan tak separah yang dibayangkan.
"Kirain besar, ternyata segitu doang," kata seorang warga Kebon Pala pada Selasa (22/9). Banjir yang melanda wilayah mereka tidak sampai satu meter, seperti sebelum-sebelumnya.
![]() |
Siaga Satu Katulampa memang membuat warga sepanjang Sungai Ciliwung waspada. Terutama warga Depok dan Jakarta yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung. Bagi mereka, Siaga Satu Katulampa berarti kiriman air dari Bogor. Kiriman air hampir dipastikan mendatangkan banjir.
Namun, banjir di bantaran sungai dan sejumlah daerah lain di Jakarta dan Depok, tak melulu dipicu limpahan air dari Katulampa.
Pada 4 Oktober, misalnya. Banjir menerjang meski tak ada peringatan siaga dari Katulampa. Saat itu 56 RT di ibu kota terendam banjir setelah sehari sebelumnya hujan deras mengguyur hampir seluruh wilayah Jakarta.
BPBD DKI mencatat 23 RT di Jakarta Selatan, 31 RT di Jakarta Timur, dan dua RT di Jakarta Barat diterjang banjir. Sebanyak 257 jiwa harus mengungsi.
Pada 4 Oktober lalu, ketinggian air di Jalan Merah Delima, Kelurahan Bidara Cina, sudah mencapai satu meter pada pukul 04.46 WIB. Di Kebon Pala, luapan Ciliwung mulai merambah ke permukiman sejak pukul 01.00 dini hari.
"Ketinggian air sekitar 20 sentimeter sampai 1,5 meter di lokasi terparah karena Kali Ciliwung meluap," kata warga Kebon Pala, Jhony.
Siaga satu Katulampa 21 September lalu dan banjir pada 4 Oktober menjadi tanda musim penghujan tiba. Musim hujan tahun ini harus lebih diwaspadai. Pangkal kewaspadaan adalah peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada awal Oktober lalu terkait potensi cuaca ekstrem yang disebabkan La Nina.
La Nina tidak terjadi setiap tahun. Sekitar 30-60 tahun lalu, siklus La Nina hanya terjadi lima sampai tujuh tahun sekali. Namun, sejak lima tahun terakhir, siklus La Nina menjadi dua sampai tiga tahun sekali.
Salah satu dampak La Nina di Indonesia yaitu intensitas hujan lebih tinggi, bahkan kenaikannya bisa 20-40 persen.
Pakar Cuaca dan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) Armi Susandi mengatakan fenomena cuaca ekstrem di Indonesia akan terus terjadi karena perubahan iklim. Curah hujan akan meningkat di beberapa daerah, termasuk DAS Ciliwung.
Penelitian yang dilakukan ITB bersama Palang Merah Internasional pada 2013-2014, menunjukkan, Bogor bisa mengalami kenaikan curah hujan sampai 200 mm di bulan basah pada 2035 nanti. Sementara Depok akan mengalami kenaikan curah hujan sebanyak 100 mm dan Jakarta sebanyak 40 mm.
"Kenaikan curah hujan itu tidak normal, anomali. Naiknya lebih dari 50 persen, itu tidak wajar. Yang wajar itu lima sampai 10 persen," ujar Armi kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Dalam penelitiannya disebutkan, pada 2020, curah hujan di wilayah Bogor saat musim hujan menunjukkan intensitas yang sangat tinggi, terutama di wilayah bagian selatan. Sementara untuk DAS Ciliwung di wilayah Depok dan Jakarta, curah hujan yang tinggi berpotensi menyebabkan banjir.
Penelitian Armi dan tim pada 2013-2014 juga menyebutkan pada Januari-Februari 2020, Kecamatan Sukmajaya, Depok, mengalami curah hujan yang sangat tinggi mencapai 700 milimeter per bulan. Potensi banjir pun tinggi dan diperkirakan meluap hingga ke Jakarta.
Benar saja, pada awal 2020 silam, sebanyak 300 rumah di Sukmajaya terendam air. Ratusan kepala keluarga mengungsi.
Tak hanya di Depok, banjir besar di Tahun Baru juga terjadi di Jakarta yang dikatakan sebagai salah satu banjir terparah di ibu kota. Lebih dari 30 ribu warga mengungsi.
BMKG menyatakan banjir di awal 2020 lalu memang bukan banjir biasa. Bukan pula termasuk siklus banjir lima tahunan yang biasanya dijadikan patokan periode banjir besar.
Perubahan curah hujan kala itu tercatat ekstrem di Jabodetabek. Stasiun BMKG di Kemayoran mencatat curah hujan pada hari itu mencapai 377 mm/hari, atau dua kali lebih tinggi dari batas curah hujan ekstrem biasanya 150 mm/hari.
Pada 2025, Armi dan tim memperkirakan curah hujan di wilayah Bogor masih tetap tinggi di bagian selatan. Hal ini masih berpotensi menimbulkan banjir di Depok dan Jakarta tetapi dengan intensitas yang tidak terlalu tinggi dibandingkan banjir di tahun 2020. Pada 2030, curah hujan yang tinggi kembali diperkirakan terjadi pada bulan Januari dan Februari. Pada Januari bisa mencapai 700 mm per bulan di wilayah Cisarua dan Ciawi yang berdekatan dengan aliran sungai Ciliwung.
"Saat ini curah hujannya sekitar 350 mm. Berarti tahun 2035, menjadi 550 mm pada bulan basah," kata Armi.
"Di Depok juga mengalami kenaikan, nilainya 100 mm pada 2035 nanti. Tapi di Jakarta hanya 40 mm," imbuhnya.
![]() |
Armi mengungkapkan, bukan tidak mungkin jika Bogor, Depok, dan Jakarta diguyur hujan secara bersamaan, akan menyebabkan banjir besar dan lebih luas.
Kemungkinan tersebut bisa terjadi karena sungai tak akan bisa lagi menampung air, sementara, lahan-lahan terbuka hijau kian berkurang.
Skenario paling parah, dia menyebut, Jakarta bisa tenggelam pada 2035.
"Karena hilirnya di Jakarta dan berakhir di laut utara Jawa, buat kawasan hilir ini masalah karena terjadi penyempitan dari badan sungai. Air tidak bisa tertampung lagi." Kata dia.
Daerah yang paling menerima dampaknya adalah wilayah Jakarta bagian utara. Ia secara khusus menyoroti daerah seperti Penjaringan, Cilincing, Kroya, dan Muara Baru. Sementara Pluit diduga bakal bertahan karena memiliki teknologi yang memadai untuk mengantisipasi banjir.
Beberapa wilayah di Jakarta Utara itu diperkirakan bakal tenggelam lebih cepat jika hal ini tidak ditangani serius. Penyebabnya adalah hujan deras di tiga daerah secara serentak, luapan sungai, dan kenaikan muka air laut.
Lihat juga:Asa di Proyek Seumur Hidup Penataan Ciliwung |
Soal ancaman banjir, Pemprov DKI Jakarta mengklaim terus berupaya untuk mengantisipasi banjir.
Kepada CNNIndonesia.com, Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria mengatakan bahwa Pemprov DKI telah memiliki strategi untuk menghadapi ancaman banjir akibat luapan Ciliwung.
Salah satu strateginya, adalah Instruksi Gubernur Nomor 52 Tahun 2020 tentang Percepatan Sistem Pengendalian Banjir di Era Perubahan Iklim. Lewat instruksi itu gubernur meminta lurah, camat, walikota, bupati, hingga kepala dinas terkait untuk mempercepat pembangunan infrastruktur pengendalian banjir, memastikan infrastruktur yang ada masih berjalan optimal, sampai menyiapkan sistem deteksi dan peringatan dini.
"Kita akan melakukan upaya, di antaranya melakukan pengerukan sungai, waduk, situ, embung. Ini akan kita upayakan semaksimal mungkin, kita kerahkan ratusan alat berat. Tujuannya untuk meningkatkan penampungan air banjir," kata Riza.
Riza juga mengatakan Pemprov DKI sedang mengebut pembebasan lahan di sekitar Ciliwung agar proyek normalisasi sungai bisa kembali dilanjutkan.
Normalisasi Sungai Ciliwung memang sempat terhenti sejak 2018 karena ada kendala dalam pembebasan lahan, akibatnya Balai Besar Wilayah Ciliwung-Cisadane (BBWSCC) tidak bisa melanjutkan normalisasi yang baru terealisasi 16 kilometer dari target 33,5 kilometer.
Tak hanya itu, Pemprov juga mengimbau warga untuk berperan aktif menjaga lingkungan untuk mengurangi dampak banjir.
"Kami minta masyarakat membantu proses ini. Misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, membersihkan lingkungan sekitar, membersihkan gorong-gorong. Semua komunitas kita minta terlibat aktif," ujar Riza.
Pemprov DKI Jakarta, mengutip Antara, juga akan memfokuskan APBD-P tahun 2020 pada pengadaan lahan untuk meningkatkan kapasitas kali dan waduk bagi penanggulangan banjir.
"Untuk tahun 2020 ini dalam APBD-P, fokusnya pengadaan lahan, namun ada yang lainnya juga," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Selain pengadaan lahan, Anies menyebutkan bahwa Pemprov DKI juga akan membenahi pompa-pompa yang ada di ibu kota dalam penanganan banjir di Jakarta.
"Pengadaan pompa mobile serta perbaikan pompa-pompa stasioner," ujar Anies.
Adapun untuk tahun 2021, kata Anies, Pemprov DKI akan membangun sistem pompa yang mendukung rancangan sistem polder serta membangun sodetan dan tanggul laut untuk penyelesaian secara menyeluruh masalah banjir.
"Ini akan dilaksanakan secara tahun tunggal maupun tahun jamak," kata Anies.
Ada sembilan poin fokus penanggulangan banjir tahun depan, yaitu pembangunan polder, revitalisasi pompa dan pembangunan waduk untuk pengendalian banjir, peningkatan kapasitas sungai dan drainase serta pembangunan tanggul pengaman pantai.
Pemprov DKI juga akan membangun drainase vertikal, flood analysis dan supporting information system, penataan Kali Besar di kawasan Kota Tua serta penataan Kali Ciliwung Pasar Baru.