"Dulu waktu SD, kita ngambilin udang di sungai. Kaki diolesin terasi, itu udangnya pada nempel," Dedi bercerita mengenang masa kecilnya bermain di aliran Sungai Ciliwung.
Dengan jarak rumah yang tidak jauh, Sungai Ciliwung ibarat taman bermain Dedi puluhan tahun lalu. Namun waktu telah mengubah wajah taman bermain itu.
Bagi Taufiq dan Dedi, Ciliwung hari ini tak jarang menampilkan wajah yang menakutkan. Taufiq dan Dedi merupakan warga Kampung Pondok Rawa, Desa Tugu Utara, Cisarua, Bogor, yang tinggal dengan Sungai Ciliwung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufiq bahkan punya ingatan traumatis terhadap Ciliwung. Banjir bandang yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung pada 2018 begitu membekas di ingatannya. Menurut Taufiq, itu adalah banjir terbesar yang pernah ia saksikan sepanjang hidupnya.
"Seingat saya dari kecil, baru kemarin banjir terbesar, yang 2018 itu. Curah hujannya memang luar biasa waktu itu," ujar pria yang mengaku sudah tinggal di DAS Ciliwung sejak lahir.
Sebelum banjir menerjang, kawasan Tugu Utara, Puncak, Bogor, diguyur hujan deras cukup lama. Taufiq mengatakan curah hujan saat itu sekitar 100 mm.
"Hujannya dari Minggu sore sampai Senin pagi. Di hulunya itu kebun teh, kan ketinggian pohonnya paling cuma satu meter. Run off-nya (aliran permukaan) banyak pasti. Bayangin berapa kubik air dalam 24 jam tuh," kata Taufiq.
Banyaknya aliran permukaan dengan volume air yang tinggi membuat longsor terjadi di mana-mana di sekitar rumahnya. Jalan dan villa yang sebelumnya berdiri kokoh langsung rusak parah dilibas air dan lumpur. Di beberapa lokasi, bekas banjir masih terlihat saat CNNIndonesia.com berkunjung ke sana September 2020 silam.
Dahsyatnya banjir kala itu juga sempat direkam warga dan disebarkan melalui media sosial. Salah satu video yang viral memperlihatkan momen saat warga Babakan Pasar, Bogor, merekam detik-detik arus Sungai Ciliwung menggerus pondasi rumah warga sampai membuat rumah itu roboh sebagian.
Kepala Bendungan Katulampa saat itu mengatakan debit air mencetak rekor tertinggi pada awal tahun 2018 dengan ketinggian air mencapai 240 sentimeter.
Katulampa Merekam Perubahan
Ciliwung tak bisa dilepaskan dari Katulampa, begitu juga sebaliknya. Resmi beroperasi sejak 1912, bendungan yang berada di Kota Bogor ini menjadi salah satu saksi bisu yang sangat mengetahui perubahan Ciliwung dari masa ke masa.
Katulampa selalu dijadikan acuan untuk menentukan apakah kawasan tengah dan hilir Ciliwung mesti waspada, atau masih boleh berleha-leha ketika hujan terus mengguyur.
Andi Sudirman sudah 33 tahun memantau Ciliwung bersama Bendungan Katulampa. Sejak lulus SMA dia diminta membantu mengawasi posko di bendungan. Dia hafal betul kapan air Ciliwung mulai menunjukkan tanda perubahan.
"Mulai tahun 90-an sudah ada perubahan-perubahan, setelah ramai di Puncak," kata Andi.
Air Ciliwung yang tadinya jernih semakin hari semakin keruh. Sungai juga mengalami pendangkalan akibat tumpukan pasir yang terbawa air dari kawasan hulu.
"Dulu ini lebih dalam lagi, dua meter kedalamannya dari mercu bendung," ujar Andi.
Petugas Jaga Bendungan lainnya, Aliyudin, juga merasakan perubahan Ciliwung dari segi kecepatan arus air.
Sebelum 2019, air dari Puncak membutuhkan waktu 20-30 menit untuk sampai di Katulampa. Namun, sejak 2019, kecepatannya bertambah.
"Dulu airnya datang agak landai dan bertahap. Mulai tahun 2019, air sampai sini cuma 10-15 menit," ujar Aliyudin.
Ia pun mengingat kejadian 21 September lalu. Saat itu, kata di, Bendung Katulampa secara tiba-tiba mengumumkan Siaga Satu. Padahal, beberapa menit sebelumnya status Katulampa masih normal.
Aliyudin mengatakan perubahan status yang mendadak disebabkan oleh kedatangan air yang begitu cepat. Dalam 15 menit, status yang tadinya normal berubah jadi siaga 3 dengan tinggi muka air (TMA) mencapai 170 sentimeter. Sekitar 20 menit berikutnya, Katulampa sudah siaga 1 dengan TMA 250 sentimeter. Jakarta diminta waspada.
![]() |
Wajah DAS Ciliwung yang berubah tak hanya terjadi di hulu. Di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur, perubahan DAS Ciliwung juga terlihat nyata bagi Heri
Sekitar 30 tahun lalu, Heri mengenang air Sungai Sungai Ciliwung.
"Dulu Ciliwung airnya bersih. Di sekitar rumah saya juga masih hutan jambu klutuk, melinjo, sama kecapi. Mulai 2009 itu ramai rumah, tanah mulai dibatas-batasin," kata Heri.
Laki-laki berusia 39 tahun itu bercerita kawasan tempat tinggalnya semakin hari semakin padat. Kebun jambu, melinjo, dan kecapi itu kini telah berubah menjadi permukiman padat.
Bagian pinggir kali juga mulai tergerus, kata Heri. Sudah tiga rumah ikut tergerus arus sungai saat banjir.
Namun, sejak program normalisasi sungai dimulai, turap mulai dipasang, dia mengatakan pinggir sungai tak lagi tergerus.
"Saya berharap itu dilanjutkan karena sangat membantu. Air tidak menggerus tanah di depan rumah, bisa bertahan," ujar Heri.
Berbeda dengan Heri, Abdul Kodir, yang lahir dan tinggal di Condet sejak 53 tahun lalu justru tidak setuju dengan konsep normalisasi. Dia tidak rela tanah Condet yang subur dipasangi turap beton dan dibangun jalan inspeksi.
Alih-alih normalisasi, ia meminta pihak berwenang mengurus daerah hulu yang sudah banyak lahan beralih fungsi di sekitar aliran sungai.
"Yang lebih ekstrem lagi kenapa dibuat jalan inspeksi. Kalau di-sheet pile (turap beton) seperti jalan inspeksi ini berbenturan dengan ruang terbuka hijau. Inilah ekosistem. Kalau ekosistem kan sesuatu yang baru akan berdampak sistemik pada banyak hal. Burung-burung mungkin pohon-pohon hilang," katanya.
Kodir bercerita, dulu tanah yang sempat ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya saat zaman Ali Sadikin ini merupakan surga buah. Sejak kecil, ia telah disuguhkan alam dengan berbagai macam buah, tanpa harus membayar sepeser pun. Ada salak, duku, duren, kecapi, jamblang, belimbing, dan masih banyak lagi.
Mengembalikan kondisi Ciliwung seperti masa lalu yang pernah dicecap Kodir, Taufiq, Dedi, dan Heri adalah pekerjaan mahaberat kalau tak mau dibilang mustahil. Kerusakan dan pencemaran Ciliwung kian hari semakin sulit dikendalikan.
Berdasarkan data BPS tahun 2016, status kualitas air Sungai Ciliwung di Jakarta masuk kategori cemar-berat. Hasil itu berdasarkan penelitian terhadap 24 titik sampel air sungai Ciliwung. Status cemar-berat juga berlaku untuk air Sungai Ciliwung yang mengaliri wilayah Jawa Barat.
Pada 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merilis hasil pemantauan terhadap 971 titik di sungai-sungai besar di 34 provinsi. Hasilnya, 221 titik sungai disebut menunjukkan perbaikan kualitas. Salah satu yang mengalami perbaikan kualitas adalah Sungai Ciliwung.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK MR Karliansyah mengatakan indikasi perbaikan Sungai Ciliwung berdasarkan parameter kunci kualitas sungai yang angkanya membaik. Selain itu, kata dia, ditemukan juga udang yang hidup Ciliwung. Udang merupakan biota sensitif yang hidupnya membutuhkan air yang sangat bersih.
"Berarti kalau udang saja ada, biota yang lain juga pasti ada. Ini adalah bukti dari kerja keras komunitas, tanpa itu semua mungkin tidak terjadi," ujar Karliansyah saat peringatan Hari Ciliwung, yang diselenggarakan Gerakan Ciliwung Bersih (GCB), Minggu (25/11).
Klaim KLHK itu boleh jadi berita yang menggembirakan. Namun, belum bisa melegakan hati. Sebab, pencemaran Sungai Ciliwung belum bisa dibendung sampai hari ini. Pencemaran dan perusakan itu sudah terjadi sejak hulu di Bogor, sampai hilir Jakarta.
Pada 2019, Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Kota Bogor merilis hasil riset sebanyak 4.989 rumah di Kota Bogor Jawa Barat membuang tinja langsung ke sungai Ciliwung.
Tinja-tinja itu dibuang oleh ribuan rumah yang tersebar di 13 kelurahan di Daerah Aliras Sungai (DAS) Ciliwung. Jika dirinci berdasarkan kelurahan, jumlahnya terbagi atas 183 rumah di Sindang Rasa, 360 rumah di Katulampa, 257 rumah di Tajur, 514 rumah di Baranangsiang, 663 rumah di Sukasari.
Berikutnya sebanyak 663 rumah di Babakan Pasar, 828 rumah di Sempur, 803 rumah di Bantarjati, 113 rumah di Tanahsareal, 918 rumah di Cibuluh, 188 rumah di Kedung Badak, 157 rumah di Kedung Halang, dan lima rumah lainnya berada di Sukaresmi.
![]() |
KPC Kota Bogor menyebut mayoritas rumah tersebut memiliki jamban, tapi tinja-tinja dari rumah langsung dialirkan ke bibir sungai karena jamban mereka tak dilengkapi septic tank.
"Paralonnya langsung ke Ciliwung," kata Ketua KPC Kota Bogor Een Irawan.
Itu baru dari satu jenis limbah domestik: tinja. KPC Kota Bogor dalam riset yang sama juga menemukan ribuan rumah di Kota Bogor membuang sampah rumah tangganya ke Sungai Ciliwung. Tercatat, ada sekitar 5.652 rumah di Kota Bogor Jawa Barat yang masih membuang sampahnya ke Ciliwung.
Deputi Direktur Administrasi Seameo Biotrop Zulhamsyah Ilham mengatakan, salah satu dampak tercemarnya Sungai Ciliwung oleh kotoran manusia yaitu berkurangnya jumlah oksigen di air lantaran terjadi penyuburan berlebih.
Jumlah biomassa dari fitoplankton bertambah yang jika semakin besar, akan menyebabkan pengurangan jumlah oksigen yang cukup besar atau defleksi oksigen.
Ikan-ikan akan mati karena jumlah oksigen berkurang di Sungai Ciliwung. Selain itu, menurutnya, dalam kandungan kotoran manusia terdapat bakteri ecoli yang akan mengakibatkan diare bagi orang yang mengonsumsi meski airnya dimasak.
"Mereka harus tahu apa yang mereka buang berdampak pada diri mereka sendiri," kata Zulhamsyah.
Dan pencemaran Ciliwung tak hanya berasal dari limbah domestik. Limbah pabrik juga ikut meracuni.
Kerusakan parah itu terilustrasi dengan tepat pada awal Januari lalu, saat banjir besar menerjang ibu kota. Pemprov DKI, pada 1-3 Januari 2020 berhasil mengangkut 3.188 ton sampah dari aliran sungai Ciliwung. Jumlah tersebut terkumpul hanya dari dua titik lokasi, yakni Pintu Air Manggarai dan Jembatan Kampung Melayu. Belum termasuk titik-titik lain.
Dengan wajah Ciliwung hari ini yang sedemikian cemar, Kodir pun merindu masa kecilnya ketika pinggiran Ciliwung rimbun, dengan air jernih yang bisa dipakai untuk berbagai macam keperluan sehari-hari.
Untuk mengobati kerinduannya, Kodir membentuk Komunitas Ciliwung Condet. Bersama komunitasnya ia melestarikan wilayah dengan mendorong konservasi keanekaragaman hayati di bantaran sungai.
Tetapi tidak banyak yang bisa diselamatkan Kodir dari kenangan masa lalunya terhadap Condet dan Ciliwung. Sekarang, ia dan komunitasnya hanya bisa memaksimalkan lahan dua hektare untuk konservasi.