Kecuali nalurinya sebagai wartawan, Des Taufiq tak mengantongi modal apapun saat dirinya nekat menjegal proyek pembangunan perumahan di dekat rumahnya, di salah satu wilayah Kota Depok, Jawa Barat.
Proyek itu, menurut dia janggal, sebab menguruk sekitar tiga hektare area sempadan sungai Ciliwung. Berbekal kamera, Taufiq membidik hampir setiap proses pengurukan, dan hilir mudik mobil truk yang mengangkut ribuan kubik tanah. Ia lalu mengunggahnya di akun media sosial.
Usaha itu tak sia-sia. Sejumlah unggahan Taufiq menarik perhatian publik luas untuk menyuarakan hal sama, menolak tegas kelanjutan proyek tersebut. Kelak, langkah Taufiq inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran Komunitas Ciliwung Depok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufiq bukan seorang ahli, pakar, atau geolog yang memahami betul ancaman alih fungsi area sempadan sungai. Namun, ia tahu bahwa sempadan adalah area konservasi yang harus bebas dari segala bentuk pemanfaatan, kecuali hanya untuk kepentingan sungai.
Peraturan pemerintah menjelaskan, area sempadan sungai adalah garis di kiri dan kanan sungai yang dilindungi.
"Praktiknya pembangunan itu menguruk sempadan sungai yang, saya tahu tahu, kalau banjir, air banjir itu mampir ke sempadan itu yang diuruk. Jadi, itu kan retensi. Mengurangi beban hilir, banjir mampir," kata dia kepada CNNIndonesia.com.
Aksi Taufiq merekam peristiwa pengurukan sempadan Ciliwung terjadi pada 2009 silam. Namun ia masih mengingat dengan cukup jelas sampai saat ini, pada usianya yang tak lagi muda. Sejumlah foto hasil bidikannya, ia unggah di media sosial dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Sungai Ciliwung bukan kehidupan baru bagi Taufiq. Meski baru pindah ke Depok pada 1996, Taufiq sejak bocah hidup dekat dengan salah satu sungai purba di tanah Pasundan itu.
Taufiq kecil tinggal bersama orang tuanya di Jalan Otista, Jatinegara Jakarta Timur. Wilayah itu dilewati aliran sungai Ciliwung sepanjang Bogor, Depok, hingga Jakarta. Ia pindah ke Jakarta bersama orang tuanya pada 1962.
"Jadi, hidup dengan Ciliwung sudah dari kecil. Ke sini, saya dapat tempat tinggal di belakang Ciliwung," katanya.
Pada 2009, unggahan-unggahan Taufiq untuk menghentikan proyek perumahan semakin menarik perhatian publik luas. Belakangan ia tahu, bahwa proyek tersebut beberapa kali ditegur oleh Pemerintah Kota Depok di bawah Nur Mahmudi Ismail.
"Memang enggak ada IMB. Polanya developer, rumah juga gitu kan. Bangun dulu, izin belakangan. Mereka itu begitu," katanya.
Upaya Taufiq menjegal proyek pembangunan perumahan itu berjalan kurang lebih selama tiga tahun. Perjuangannya bersama sejumlah warga sekitar gagal. Proyek itu tetap berlanjut, dan perumahan tersebut telah sepenuhnya menjadi milik warga dan lepas dari pengembang saat ini.
![]() |
Di Depok, model perumahan yang dibangun di area konservasi di bantaran sungai Ciliwung tak lagi bisa dihitung jari. Itu baru perumahan, belum termasuk pemukiman padat penduduk semi permanen.
Ada belasan kompleks perumahan di Depok yang berhimpitan langsung dengan Ciliwung. Perumahan-perumahan itu ada yang memakan badan sungai dan mereduksi fungsi area resapan air di bantaran sungai.
Menjamurnya pembangunan rumah di sempadan Sungai Ciliwung tersebut tak lepas dari Kota Depok yang terus berkembang.
Letak geografis Depok yang tak jauh dari Jakarta menjadikan wilayah ini lokasi penyangga yang ideal untuk ditempati. Badan Pusat Statistik mencatat, hingga 2019, jumlah penduduk di Kota Depok telah mencapai 2,2 juta jiwa, naik 3,5 persen sejak 2017 yang hanya 1,8 juta jiwa.
Dengan luas wilayah 202 kilometer persegi, tingkat kepadatan penduduk di Depok mencapai sekitar 11.000 per kilometer per segi.
Peningkatan pesat itu juga tercermin dari kian tingginya harga properti di sana. Di antara beberapa wilayah lain se-Jabodetabek, Depok lah yang mengalami lonjakan harga indeks properti tertinggi. Kenaikan itu didorong oleh sejumlah faktor, terutama dari akses transportasi.
Okupasi sempadan Sungai Ciliwung mudah ditemui sejak dari kawasan Bogor, Depok, hingga Jakarta. Pelakunya tak cuma para developer nakal yang memiliki kekuatan finansial.
Di Jakarta, Pemprov DKI mencatat okupasi sempadan Ciliwung telah terjadi sejak era kolonial. Perkembangannya semakin pesat sejak tahun 60-70 an, seiring meningkatnya pendatang dari daerah.
Pada 2007, mengutip laporan Pemprov DKI, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, mengatakan jumlah keluarga di kawasan pinggir Sungai Ciliwung itu mencapai 70.000 keluarga.
Pemprov DKI Jakarta berusaha mengatasi masalah ini dengan melakukan revitalisasi Ciliwung. Konsep normalisasi diterapkan pada 2013, kala Joko Widodo memimpin ibu kota.
Normalisasi dilakukan dengan cara membuat dinding turap beton atau sheet pile dan jalan inspeksi. Program ini dilanjut oleh penerusnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang menggusur sejumlah kantong permukiman di bantaran Sungai Ciliwung, seperti di Kampung Pulo dan Bukit Duri.
Namun, proyek ini ikut terhenti saat Ahok tak lagi menjabat gubernur. Dari target normalisasi sepanjang 33 kilometer, Pemprov DKI baru mengerjakan 16 kilometer. Jejak mangkrak normalisasi bisa dilihat di beberapa titik, seperti di Balekambang dan Kampung Poncol, Kelurahan Gedong, Condet, Jakarta Timur.
Gubernur Anies Baswedan yang menggantikan Ahok, menawarkan solusi bernama naturalisasi yang sampai saat ini masih berupa konsep di atas kertas. Terlepas dari pro dan kontra penggusuran rumah di sempadan Ciliwung, tak dipungkiri keberadaan permukiman telah menimbulkan kekhawatiran akan antisipasi bencana dan pencemaran sungai.
Warga bantaran merupakan yang paling rawan menjadi korban banjir di setiap musim penghujan. Sampah-sampah domestik mereka, ikut menyumbang pencemaran air Ciliwung yang kian memprihatinkan.
![]() |
Pengamat lingkungan Universitas Indonesia (UI), Tarsoen Waryono menjelaskan, keberadaan sejumlah area pemukiman yang berimpitan dengan Ciliwung memang tak memiliki dampak secara langsung.
Tapi, menurut dia, kondisi itu berkaitan dengan daya tampung sungai terhadap debit air, terutama di musim hujan. Keberadaan kompleks perumahan di bantaran sungai akan mengurangi daya serap sehingga akan menambah beban sungai dalam menampung air. Akibatnya, air yang berada di daratan akan menggenang.
"Jadi pada waktu belum ada rumah, itu air yang ke Ciliwung kalau ada hujan, satu ember totalnya, itu hanya sepertiga ember yang ke Ciliwung. Lainnya meresap. Nah, sekarang terbalik. Yang meresap 30 yang 70 persen ke Ciliwung," kata dia kepada CNNIndonesia.com.
"Jadi, perhitungan itu diinfiltrasi air. Adalah masuknya air ke dalam tanah. Yang dipengaruhi oleh pondasi," kata dia.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau, mengatur garis sempadan sungai. Pasal 5 ayat 1 poin b Permen menyebutkan, garis sempadan sungai untuk sungai dengan kedalaman 3-20 meter adalah 15 meter di kiri dan kanan sungai.
Menurut Tarsoen, jarak yang diatur Permen PUPR itu masih jauh dari panjang sempadan sungai di beberapa negara lain. Di Belanda, misalnya, garis sempadan bahkan mencapai 60 meter untuk sungai besar, atau 30 meter untuk sungai kecil.
Terlepas dari jarak sempadan yang masih pendek, Tarsoen yakin wilayah Bogor hingga Pasar Minggu yang dilewati aliran sungai Ciliwung masih bisa terhindar banjir bila aturan pembangunan perumahan di bantaran sungai dipatuhi.
"Tapi kalau dilanggar bunuh diri namanya. Seperti tadi, berapa meter dari pinggir Ciliwung, buka pintu sudah Ciliwung, itu namanya bunuh diri," kata Guru Besar Departemen Geografi UI itu.
Dia pun mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah pada 2016 terkait sejumlah proyek sertifikasi lahan, termasuk kepemilikan lahan di bantaran sungai. Menurut dia, cara itu tak berbeda dengan program pemerintah Orde Baru lewat Prona.
Menurut Tarsoen, kebijakan itu menyebabkan banyak warga menggunakan area lahan di sempadan sungai untuk dijadikan tempat tinggal. Padahal, area itu masuk dalam kawasan sempadan sungai yang harus bebas dari pemukiman.
Kebijakan bagi sertifikat lahan Jokowi itu, mengingatkannya pada kebijakan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) semasa Orde Baru.
Prona adalah legalisasi aset tanah atau proses administrasi pertanahan mulai dari ajudikasi, pendaftaran tanah, hingga penerbitan sertifikat tanah.
"Itu Prona itu programnya Soeharto. Jadi tanah-tanah yang di pinggir sungai, itu dibuatkan sertifikat. Nah, ini salah lagi," kata dia.