Pada suatu siang, 11 November sembilan tahun silam, warga RT 09/RW 01, Tanjung Barat, Jakarta Selatan, dihebohkan dengan penemuan kura-kura raksasa di tepi Sungai Ciliwung yang terletak tak jauh dari permukiman mereka. Saat itu, tak satu pun penduduk menyangka penemuan kura-kura raksasa tersebut diabadikan sebagai 'asbabun nuzul' penetapan Hari Ciliwung yang diperingati saban tahun.
Setahun kemudian, komunitas-komunitas konservasi Ciliwung menetapkan 11 November sebagai Hari Sungai Ciliwung.
Kura-kura raksasa itu diketahui sebagai bulus. Nama ilmiahnya: Chitra chitra javanensis. Bulus raksasa itu ditemukan oleh orang yang memang bekerja mencari kura-kura di Sungai Ciliwung untuk restoran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ditemukan, sekitar pukul 14.00 WIB, ukuran panjang bulus itu 140 sentimeter dengan lebar 90 sentimeter. Bobot bulus 140 kilogram.
Orang tersebut kaget menemukan bulus ukuran raksasa. Tak seperti ukuran yang biasa ditemukan. Disebutkan bahwa orang itu lantas memanggil warga sekitar untuk kemudian bersama-sama menangkapnya.
Warga menyebut saat ditemukan sebenarnya ada sepasang bulus raksasa. Namun, warga hanya berhasil menangkap satu bulus saja yang berkelamin jantan.
Penemuan bulus itu telah mendorong optimisme komunitas-komunitas konservasi Ciliwung akan keberadaan ekosistem endemik yang harus terus dijaga.
Lihat juga:Bayang-bayang Ancaman Besar Ciliwung di 2035 |
Namun upaya menjaga kelestarian Ciliwung sama sulitnya dengan menemukan bulus raksasa seperti terjadi sembilan tahun silam. Beragam persoalan menggunung, mulai dari pencemaran air, perusakan daerah resapan di hulu dan hilir, hingga okupasi sempadan sungai oleh penduduk dan aktivitas bisnis.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Perikanan (KLHK) mencatat, Ciliwung tak mengalami perbaikan berarti selama lima tahun hingga 2019 dari segi status mutu air sungai. Kondisinya sebagian besar masih berstatus tercemar dalam kategori sedang, di antara ringan dan berat.
Bahkan, melewati Pluit, Jakarta Utara, Ciliwung terus memburuk dan malah berstatus cemar berat. Itu terjadi dalam empat tahun terakhir sejak 2016.
Direktur Pengendalian Pencemaran Air Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Luckmi Purwandari mengatakan, kondisi itu umumnya diakibatkan ulah manusia yang kerap memanfaatkan Sungai Ciliwung untuk membuang sampah domestik atau limbah industri.
Pihaknya mencatat, limbah domestik menjadi penyumbang terbesar pencemaran sungai Ciliwung sebesar 66, 26 persen, disusul limbah industri sebesar 30,3 persen. Dari jumlah tersebut, Jakarta menjadi penyumbang terbesar sampah domestik, meliputi wilayah Pulogadung, Matraman, hingga hingga Kelapa Gading.
"Secara keseluruhan sumber pencemar terbesar adalah limbah domestik," kata Luckmi kepada CNNIndonesia.com.
Lihat juga:Lenyapnya Ikan-Ikan di Sungai Ciliwung |
Sungai Ciliwung membentang sepanjang hampir 120 kilometer, melewati empat wilayah administrasi, mulai dari Kabupaten, Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan Provinsi DKI Jakarta. Sejumlah sejarawan mengatakan Ciliwung telah ada sebelum beberapa wilayah itu ada, termasuk Jakarta yang kini telah berusia 493 tahun.
Bahkan, peradaban Jakarta telah ada sejak 5.000 tahun lalu di Sungai Ciliwung. Peradaban Jakarta berawal dalam sebuah bandar dan pelabuhan kecil di muara Ciliwung pada zaman Kerajaan Hindu-Tarumanegara sekitar abad ke-5 Masehi.
Pengajar Departemen Geografi Universitas Indonesia (UI), Tarsoen Waryono menyebut, Sungai Ciliwung terbentuk sekitar 4,5 juta tahun akibat sebuah meletusnya Gunung Gede Pangrango, di Kabupaten Bogor. Peristiwa itu bersamaan dengan meletusnya Gunung Kapur di Bogor dan Banten.
Di Banten, meletusnya Gunung Kapur sebagian besar menutup wilayah Jakarta bagian Barat. Sedangkan di Bogor, meletusnya Gunung Gede menutup sebagian besar wilayah Jakarta bagian Timur.
"Makanya kalau Jakarta dibilah, Barat itu cenderung banyak kapur. Ke arah Timur cenderung banyak larva, itu kira-kira," kata dia kepada CNNIndonesia.com.
Lebih spesifik dia menjelaskan, peristiwa itu pula, yang menyebabkan dasar sungai Ciliwung berbeda dengan sungai-sungai lain di Indonesia. Ciliwung, kata dia, memiliki dasar berbatu seperti diplester, bukan lumpur seperti umumnya sungai-sungai lain di Indonesia.
Sebagai salah satu bentang alam tertua, Ciliwung, kata Tarsoen, telah digunakan masyarakat sebagai arus lalu lintas perniagaan. Ciliwung adalah jalan tol dari aktivitas niaga masyarakat yang berpusat di Dramaga, Bogor. Lokasi itu kini berdiri kampus Institut Pertanian Bogor (IPB).
Sungai Ciliwung memberi fasilitas bagi perniagaan masyarakat untuk mengangkut barang dan orang. Meski pada akhir abad ke-17, pemerintah kolonial telah mewanti-wanti bahwa Ciliwung berpotensi tak lagi bisa untuk berlayar karena akan mengalami pendangkalan.
Kala itu, masyarakat telah menggunakan aliran Ciliwung sebagai sebagai area pertanian dan industri. Di Batavia (sekarang Jakarta), Ciliwung dimanfaatkan warga untuk menghidupi lahan tebu dan pabrik gula.
Pada akhir abad ke-17, mengutip Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, setidaknya ada 16 kincir penggilingan gula di sepanjang Ciliwung. Pemilik kebun tebu juga memanfaatkan Kali Ciliwung untuk membangun waduk dan pintu air.
Air-air itu diambil dari aliran sungai Ciliwung. Belakangan, pencemaran sungai banyak diakibatkan karena limbah pabrik-pabrik gula dan kebun tebu tersebut.
Hingga pada awal 1900an, Ciliwung disebut-sebut masih menjadi surga di kawasan negara tropis. Sungai itu dipuji-puji oleh warga Eropa yang hidup di kawasan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda tercatat sempat membersihkan sungai itu setelah pada kurun waktu 1730-1750.
Pembersihan Ciliwung dilakukan setelah julukan Ratu dari Timur hilang, diganti julukan 'Kuburan di Timur'
Sejak 1650, pemerintah VOC konon telah dibuat pusing mengurusi kebersihan kota, akibat Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya kerap digunakan warga untuk membuang sampah.
Meski sudah terkontaminasi sampah sejak era kolonial, namun Sungai Ciliwung pada masa lalu tetap mampu menawarkan air kehidupan. Muhammad Abduh, 47 tahun, warga Gedong, Condet, Jakarta Timur, menyebut pada masa kecil ia dan keluarga masih berani memanfaatkan Sungai Cilliwung sebagai sumber air minum.
Rumah Abduh berada di dekat sempadan Sungai Ciliwung. Hari ini, dia yang masih menghuni rumah warisan orang tuanya itu, tak lagi berani mengambil air langsung dari Ciliwung.
Ciliwung juga kerap menjadi kambing hitam dan dituding menjadi biang kerok banjir di Ibu Kota. Bencana itu umumnya datang di musim penghujan, di akhir tahun antara Desember dan Januari.
Banjir bukan hal baru bagi warga Jakarta. Di masa Gubernur Ali Sadikin, pada 1970an, banjir telah menjadi langganan di Ibu Kota. Kala itu, banjir terutama sangat berdampak pada wilayah Jakarta Pusat. Musababnya bukan saja hanya karena hujan.
Mengutip "Melongok Baik Buruknya Sungai Ciliwung era 1970an", yang diterbitkan Pusat Data Analisis Tempo, seorang insinyur dari IPB, Rachmansyah Abidin sempat menyebut bahwa banjir yang kerap membekap Ibu Kota juga diakibatkan oleh penggundulan hutan di kawasan Puncak, tepatnya di Kecamatan Cisarua dan Gunung Picung. Dua wilayah itu memang dilewati aliran sungai Ciliwung.
Dia mencatat, sebanyak Lebih dari 26.000 hektare hutan gundul di wilayah tersebut mengakibatkan aliran air dari Bogor dengan amat cepat melimpah ke Jakarta. Kondisi itu diperburuk oleh rendahnya kesadaran masyarakat dalam memelihara Ciliwung.
Wakil Gubernur DKI saat itu, Urip Widodo sempat melontarkan ancaman saat meninjau satu kawasan banjir.
"Kesempatan banjir akan digunakan untuk mengusir mereka, yang bertempat tinggal di sepanjang bantaran sungai, lebih-lebih para penghuni kolong jembatan," kata dia.
Waktu berganti, banjir tetap menerjang ibu kota dan sejumlah daerah bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Bogor dan Depok. Kondisi Ciliwung pun kian memprihatinkan.
Segala upaya yang telah dilakukan tak mampu memberi hasil memuaskan dalam memulihkan Ciliwung dan ekosistemnya. Hari ini, upaya perbaikan Ciliwung demi mencegah banjir, bahkan terjebak pada pro kontra normalisasi atau naturalisasi.
(thr/wis)