Hari ini 22 tahun yang lalu atau tepatnya 13 November 1998, Tragedi Semanggi I terjadi. Beberapa mahasiswa yang menggelar demonstrasi di masa transisi dari rezim Orde Baru menuju Reformasi tertembak hingga meregang nyawa.
Mulanya, mahasiswa dan elemen masyarakat melancarkan protes atas pelaksanaan sidang istimewa MPR/DPR yang menunjuk B.J. Habibie sebagai pengganti Soeharto di kursi presiden.
Mahasiswa tidak setuju karena B.J. Habibie dinilai sama saja atau kepanjangan tangan dari Orde Baru yang dinakhodai Soeharto selama lebih dari 32 tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aksi sebetulnya berlangsung sejak 11 November. Kala itu, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa, Kelompok sipil bersenjata yang dibentuk TNI, di sekitar kompleks Tugu Proklamasi.
Kemudian pada 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyarakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan. Namun, tidak ada satupun yang berhasil sampai gedung DPR/MPR karena dikawal dengan sangat ketat oleh aparat.
Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman. Puluhan mahasiswa dilarikan ke rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievakuasi ke Universitas Atma Jaya.
Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, mengalami luka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan elemen masyarakat yang berada di Universitas Atma Jaya Jakarta, bergerak ke Semanggi dan sekitarnya. Mereka lalu dikepung di Jalan Jenderal Sudirman oleh aparat.
![]() |
Mahasiswa dan elemen masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan kendaraan lapis baja aparat. Peluru tajam juga berdesingan.
Hingga kemudian, Tim Relawan untuk Kemanusiaan melaporkan ada 17 orang tewas akibat peristiwa tersebut.
Terdiri dari 6 mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 pelajar SMA, 2 aparat keamanan dari Polri, 4 anggota Pam Swakarsa dan sisanya warga. 4 orang diantaranya adalah yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi dan BR Norma Irmawan. Korban yang luka-luka mencapai 109 orang, baik dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa.
Pada 24 September 1999, aksi unjuk rasa berujung bentrok dengan aparat kembali terjadi. Peristiwa ini dikenang sebagai Tragedi Semanggi II.
Ratusan mahasiswa luka-luka dan satu orang mahasiswa tewas akibat luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
Komnas HAM menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat dalam dua peristiwa tersebut. Penyelidikan dilakukan, namun hingga hari ini belum menemukan titik terang.
Penyelesaian pelanggaran HAM berat malah menemui jalan buntu. Pasalnya, pada Januari 2020 lalu, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga kasus tidak perlu dilanjutkan.
Keluarga korban Tragedi Semanggi lalu menggugat sikap Jaksa Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka tetap ingin kasus itu diungkap dan diselesaikan.
Majelis Hakim PTUN lalu memutus perbuatan Burhanuddin itu melawan hukum. Sebagai pihak tergugat, Burhanuddin diminta membuat pernyataan dalam forum yang sama terkait kedua kasus itu.
![]() |
Namun pihak Kejagung melayangkan banding pada putusan PTUN. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono menerangkan, banding diajukan ke PTUN untuk melawan putusan hakim di PTUN.
"Sudah diajukan bandingnya ke PTTUN tanggal 9 November 2020 kemarin," kata Hari saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis (12/11).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) lalu menyindir tindakan Jaksa Agung yang ingin mengajukan banding.
"Besok tepat 22 tahun Tragedi Semanggi I, hari ini Jaksa Agung resmi ajukan banding terhadap Putusan PTUN Jakarta. Sungguh sebuah keberpihakan @KejaksaanRI & Presiden @Jokowi terhadap para keluarga korban," tulis KontraS lewat akun Twitter @KontraS, Kamis (12/11).
Dalam cuitan tersebut juga diunggah video singkat berisi harapan Sumarsih, ibu dari dari satu korban peluru tajam pada peristiwa Semanggi I. Sumarsih meminta Kejaksaan Agung mematuhi putusan PTUN ketimbang mengajukan banding.
"Harapan saya kepada jaksa agung, patuh dan taat untuk memenuhi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) itu yang terpenting, artinya gugatan kami terhadap jaksa agung ini dilaksanakan," kata Sumarsih.