Tindakan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait Tragedi Semanggi I dan II dinilai sebagai upaya mempertahankan ego. Namun, hal itu justru dinilai merendahkan harga diri Korps Adhyaksa.
Tim Kuasa Hukum Keluarga Korban, Al Ghifary, mengatakan banding itu dilakukan karena Jaksa Agung ST Burhanuddin enggan mengakui kelalaiannya dalam penuntasan perkara pelanggaran HAM berat.
"Kami dari tim hukum melihat ini [banding JA] hanya ingin mempertahankan ego saja, berlama-lama, tidak ingin mengakui bahwa korban benar bahwa JA tidak serius mempertimbangkan nilai hukum yang berlaku dalam proses penuntasan perkara," kata Ghifar dalam konferensi pers virtual 'Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II serta Keluarga Korban', Jumat (13/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, menurut Ghifar, materi banding yang diajukan JA ke PTUN sebetulnya telah terjawab sebelumnya oleh penyelidikan Komnas HAM dan sudah diadili oleh hakim PTUN.
"Dimana materi-materi JA untuk melakukan banding putusan ini sudah ada jawabannya, itu materi jawaban, duplikasi materi kesimpulan JA yang diulang lagi dan menurut kita itu sudah diadili oleh hakim," terang dia, yang juga merupakan aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) itu.
Senada, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mengatakan tindakan Jaksa Agung menunjukkan rendahnya wibawa lembaga.
"Jadi dengan bandingnya ini justru bukan malah mengangkat wibawa ataupun sebuah tanggung jawab Jaksa Agung, tapi malah makin merendahkan harga dirinya sendiri karena ia tidak bisa terima bahwa ia itu adalah orang yang bersalah," kata dia dalam konferensi pers virtual 'Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II serta Keluarga Korban', Jumat (13/11).
Menurut Fatia, Putusan PTUN Nomor 99/G/2020/PTUN-JKT yang mengatakan Jaksa Agung melanggar hukum karena pernyataannya tersebut, harusnya menjadi pelajaran agar Jaksa Agung untuk berhati-hati dalam membuat pernyataan.
Lihat juga:Kilas Balik 22 Tahun Tragedi Semanggi I |
"Namun justru mengajukan banding, makin memperlihatkan bahwa dia telah malu karena sudah melakukan kesalahan, sebuah statement yang juga menyesatkan masyarakat itu sendiri terkait kasus pelanggaran HAM berat," tuturnya.
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin sebelumnya menyebut bahwa Peristiwa Trisakti dan Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM berat di depan anggota Komisi III DPR RI pada 16 Januari 2020. Keluarga korban pun menggugat pernyataan tersebut ke PTUN.
Menurut Ghifar, pernyataan Jaksa Agung tersebut sebetulnya tidak berdasar, karena ucapannya hanya berlandaskan pada hasil rapat DPR tahun 2001, bukan atas dasar proses hukum.
Sementara, Komnas HAM yang memberikan berkas penyelidikan 9 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk berkas peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, kepada Kejaksaan Agung.
Namun, sejak 2002 hingga kini berkas kasus itu masih bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Korps Adhyaksa beralasan berkas-berkas tersebut masih harus dilengkapi oleh penyelidik.
Sejauh ini, peradilan perkara penuntasan HAM berat berjalan mandeg, dengan alasan kurangnya bukti.
"Proses ini sepertinya tidak ter-capture oleh Jaksa Agung, mulai 2018 secara konsisten Jaksa Agung tidak pernah lagi meninjau berkas [tragedi Semanggi] ini, terbukti waktu itu bahkan Komnas HAM bilang katanya mandeg karena kurang bukti, lalu disimpulkan voting bahwa peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran ham berat," ungkap Ghifar.
Janji Semu
Fatia melanjutkan bahwa Presiden Joko Widodo memberi janji semu pada masa kampanye Pilpres 2014 dan 2019 terkait penuntasan pelanggaran HAM berat. Baginya, janji itu hanya strategi untuk meraih suara.
"Jokowi pada masa kampanye di tahun 2014 dan 2019 kita tahu bahwa banyak sekali janjinya terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat, namun hal tersebut hanya dilakukan untuk sebuah solidaritas dan meraih suara, pada akhirnya menjadi janji semu dan menghianati keluarga korban dan korban itu sendiri," ucap dia.
Ia juga mengatakan kasus pelanggaran HAM berat tidak hanya dijadikan komoditas politik, tapi juga dijadikan ajang pencitraan kepada publik bahwa pemerintahan hari ini berbeda dengan masa Orde Baru. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya.
![]() |
"Pemerintahan hari ini kembali ke masa Orba, yang mengamini budaya kekerasan, otoritarianisme tidak mendengarkan masyarakat, hanya menggunakan kasus pelanggaran HAM sebagai jargon dan komoditas semata tanpa adanya implementasi strategis dan komprehensif untuk memenuhi hak korban," cetus Fatia.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono menerangkan banding itu diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) untuk melawan putusan hakim di PTUN, pada 9 November.
Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejagung Feri Wibisono menyebut banding itu dilakukan karena hakim PTUN melanggar UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.