Mabes Polri mengungkapkan dalam tiga tahun terakhir, ada ratusan kasus tindak pidana yang terjadi karena dipicu minuman beralkohol yang dikonsumsi pelaku di Indonesia.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono menyatakan data tersebut menggambarkan terdapat kasus yang memang dilatarbelakangi karena konsumsi alkohol.
"Kalau boleh kami berikan gambaran, memang dalam beberapa kasus tindak pidana ada hal-hal yang memang dilatarbelakangi karena alkohol. Selama tiga tahun terakhir, mulai 2018 sampai 2020 sebanyak 223 kasus," kata Awi kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (13/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Awi, biasanya beberapa kasus-kasus konvensional seperti pemerkosaan dan lainnya seringkali pelaku atau tersangka yang diperiksa positif mengkonsumsi alkohol.
Meskipun demikian, kata Awi, pihak kepolisian tidak akan memberikan tanggapan dan komentar terkait dengan pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini akan dibahas di DPR.
"Kemudian peredaran, penjualan miras beralkohol ataupun miras oplosan selama tiga tahun terakhir dari tahun 2018 sampai dengan tahun 2020, data yang masuk ke kami sebanyak 1.045 kasus," ucapnya.
RUU Minol sendiri mulai terdengar di DPR setelah kembali bekerja pascareses hampir satu bulan penuh. Dalam pasal 3 RUU yang drafnya bisa diunggah di situs DPR itu disebutkan bahwa larangan minuman beralkohol bertujuan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol.
Pasal tersebut juga menyebut RUU itu bertujuan menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol, dan menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.
RUU ini disebut diusulkan oleh 21 anggota DPR RI yang berasal dari tiga fraksi berbeda yakni PPP, PKS, serta Gerindra.
Sejak RUU itu mulai menggema sejumlah penolakan dan kritikan muncul untuk menanggapi bakal produk hukum itu.
Potensi pasal karet dan buta hingga overkriminalisasi ini juga sempat disinggung oleh Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu. Kata dia, undang-undang ini harus diwaspadai berpotensi overkriminalisasi. Menurutnya, RUU ini juga berpotensi mendewakan pendekatan larangan buta.
"Dengan semangat prohibitionist atau larangan buta, hanya akan memberikan masalah besar, seperti apa yang negara Indonesia hadapi pada kebijakan narkotika," kata Erasmus dalam rilis ICJR, Rabu (11/11).
Membandingkan dengan bakal RUU Minol, Erasmus mengatakan seluruh bentuk penguasaan narkotika yang dilarang dalam UU justru membuat lebih dari 40.000 orang pengguna dikirim dan memenuhi penjara. Meskipun demikian, sambungnya, justru peredaran gelap narkotika di penjara tak terelakkan.
"Negara pun telah membuktikan pendekatan keras terhadap narkotika tidak membuat jumlah penyalahgunaan narkotika berkurang," kata dia.
Di satu sisi, sambungnya, pengaturan tentang penggunaan alkohol yang membahayakan sejatinya sudah diatur dalam sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan. Ia mencontohkan Pasal 300 dan Pasal 492 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Pemerintah pun sudah lama mengeluarkan aturan pengendalian alkohol melalui Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia No. 25 Tahun 2019 tengang pengendalian dan pengawasan terhadap minuman beralkohol," kata Erasmus.