ANALISIS

Kebijakan Inkonsisten dan Aparat Gamang soal Pelanggar Prokes

CNN Indonesia
Jumat, 20 Nov 2020 12:24 WIB
Keberanian aparat menindak kerumunan di masa pandemi disebut terhambat oleh kebijakan pemerintah yang tak konsisten dalam menangani Covid-19.
Ilustrasi. Kerumunan Warga. (CNN Indonesia/Yogi Anugrah)
Jakarta, CNN Indonesia --

Penindakan terhadap kerumunan massa yang mengabaikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dinilai terhambat oleh inkonsistensi kebijakan pemerintah. Kemauan politik dalam penanganan pandemi pun dipertanyakan

Kerumunan massa mewarnai penangan pandemi virus corona atau Covid-19 di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.

Di antaranya, acara Maulid Nabi Muhammad dan pernikahan putri pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab serta kegiatan lain yang dihadirinya, hingga pendaftaran bakal calon kepala daerah dan pengambilan nomor urut paslon di Pilkada 2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 menyebut salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19 ialah menjaga jarak minimal satu meter dengan orang lain.

Bahkan, di BAB II angka 2 ditegaskan bahwa aktivitas yang menimbulkan kerumunan merupakan hal yang harus dihindari demi memberikan perlindungan kesehatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19.

Nyatanya, penegakan aturan dalam rangkaian peristiwa yang mengabaikan penerapan protokol kesehatan di atas itu tidak terlihat berjalan. Langkah Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 dalam menyikapi berbagai pelanggaran protokol kesehatan itu pun terlihat tidak tegas.

Juru Bicara #SatgasCovid19 Wiku Adisasmito hanya berharap tak ada lagi kegiatan yang memunculkan kerumunan massa di hari mendatang.

"Kami berharap kejadian kemarin adalah kejadian terakhir. Ini potensi penularan kasus yang sangat besar. Jangan egois, kita harus ingat jika kita berkerumun maka kita dapat membawa malapetaka di masa pandemi ini," ucapnya, Kamis (12/11).

Pelanggaran protokol semacam ini, kata dia, tidak hanya membahayakan nyawa manusia tetapi juga keluarga dan orang di sekitar.

Kemauan Politik

Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia hanya memerlukan ketegasan dan kemauan politik dari pemerintah dalam menindak setiap pelanggaran protokol kesehatan.

Menurutnya, berbagai peristiwa yang memunculkan kerumunan massa lahir karena pembiaran yang dilakukan pemerintah sejak awal.

"Kita ini mulai dari kasus kecil dibiarkan terus akhirnya sampai kasus besar kemarin yaitu penyambutan tokoh sampai perhelatannya. Itu akibat yang kecil dulu dibiarkan," kata Windhu saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (19/11).

"[Butuh] kemauan politik yang tinggi untuk betul-betul menurunkan kasus Covid-19," imbuhnya.

Ia menerangkan perintah Presiden Joko Widodo kepada Panglima TNI dan Kapolri berupa Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, September, hanya bersifat imbauan.

Windhu pun menyoroti inkonsistensi dan kontradiksi kebijakan pemerintah dalam upaya pencegahan Covid-19. Hal ini, kata dia, membuat aparat gamang dalam mengambil keputusan soal penindakan.

"Instruksi presiden sebenarnya sudah lama, sudah ada inpres tentang pendisplinan dan di sana, ada sanksi, tapi sekadar imbauan. Konsistensi pemerintah enggak ada, ada imbauan tapi kebijakan sering kontradiktif, sehingga aparat di bawah gamang," katanya.

Infografis Dicopot Usai KerumunanInfografis Dicopot Usai Kerumunan. (Foto: CNN Indonesia/Fajrian)

Diketahui, selama pandemi pemerintah kerap melahirkan kebijakan yang dipandang kontradiksi pada pencegahan Covid-19.

Misalnya, mewanti-wanti soal potensi klaster libur panjang Oktober 2020, tapi di saat yang sama memberi diskon tiket pesawat dan tak memenuhi desakan penundaan libur panjang.

Selain itu, bersikukuh meneruskan tahapan Pilkada 2020 di saat kasus Covid-19 makin tinggi; mengizinkan angkutan umum beroperasi saat musim lebaran setelah ada larangan untuk mudik; enggan menerapkan lockdown namun kemudian mencetuskan mini-lockdown.

Windhu pun meminta Pemerintah menerapkan terobosan yang berbasis protokol kesehatan di Pilkada Serentak 2020. Jika tidak, akhir pandemi Covid-19 akan makin sulit diprediksi.

"Kalau pencoblosan masih harus datang ke TPS itu tidak selaras juga, ada modus yang lebih tepat misalnya drive thru atau e-voting yang sebenarnya bisa kalau kita mau," ucapnya.

PSBB Transisi Tak Efektif

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Hermawan Saputra mengatakan menilai wajar kerumunan makin sering terjadi.

Pasalnya, Kapolri Jenderal Idham Azis sudah mencabut Maklumat Nomor: MAK/2/III/2020 tanggal 19 Maret 2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) pada Juni lalu.

Infografis Pilkada Serentak 2020 di Tengah Covid-19Infografis Pilkada Serentak 2020 di Tengah Covid-19. (Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen)

Pencabutan maklumat itu, katanya, membuat aparat keamanan sulit melakukan proses penegakan hukum dan aktivitas kerumunan massa terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

"[Beberapa] bulan lalu Kapolri mencabut maklumat keramaian yang jadi direction kepada kapolda dan kapolres dan sampai sekarang belum diaktifkan kembali, sehingga wajar aparat keamanan tidak mengetatkan di daerah berbagai wilayah Indonesia," katanya.

Hermawan pun meminta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali mengampanyekan penerapan kebijakan Pembatasan sosisal Berskala Besar (PSBB) di seluruh wilayah agar pengendalian Covid-19 memiliki dasar yang jelas.

"[Kemenkes] harus kampanye PSBB diberlakukan kembali di seluruh wilayah Indonesia agar seluruh daerah kembali mengajukan PSBB," katanya.

Menurutnya, penerapan PSBB di Jakarta saat ini sudah tak lagi optimal karena sudah dimodifikasi dalam bentuk transisi.

"Dalam perjalanan PSBB di Indonesia selama sembilan bulan Covid-19, sebenarnya DKI yang konsisten dan tidak pernah mencabut sejak 10 April 2020, hanya saja PSBB di DKI tutup buka dari optimal ke transisi," kata Hermawan.

"Saya dan tim sudah meneliti bahwa PSBB transisi tidak efektif dalam pengendalian Covid-19, tapi sebagai payung kebijakan DKI tetap memilih itu," tutupnya.

(mts/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER