Lembaga Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) menyebut hasil swab Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab bersifat rahasia.
Ketua Presidium MER-C Sarbini Abdul Murad menyebut pihaknya berhak merahasiakan hasil swab Rizieq berdasarkan kode etik kedokteran dan profesionalitas mereka terhadap pasien atau keluarga.
"Hasilnya itu adalah rahasia. Itu hak. Ya semua laporan itu, itu adalah hak keluarga pasien," kata Sarbini sebelum menjalani pemeriksaan di Mapolresta Kota Bogor, Senin (30/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sarbini menambahkan MER-C juga memiliki hak untuk tidak memberikan hasil swab Rizieq kepada Dinas Kesehatan Kota Bogor atau Tim Satgas Covid-19. Hingga saat ini, dia mengaku tak berencana memberikan hasil test tersebut kepada pemerintah.
Dia menuturkan tes swab Rizieq dilakukan di Rumah Sakit Ummi, Kota Bogor, Jawa Barat. Sedangkan, pengujian spesimen dilakukan di sebuah laboratorium yang bukan milik MER-C.
"Sebagai dokter yang dipercaya oleh keluarga, kita melakukan langkah-langkah yang profesional. Tapi kalau misalnya mau tahu hasilnya, gampang, tanya sama keluarga," ujar Sarbini.
"Enggak, enggak ada urusan dinas kesehatan. Itu hasil itu dilaporkan ke keluarga," imbuhnya.
Dengan tidak melaporkan hasil test terhadap publik maupun pemerintah, Sarbini mengklaim pihaknya telah melakukan langkah-langkah secara profesional dan sesuai prosedur.
"Ya UU, ada kode etik kedokteran, ada UU kedokteran, sudah terukur semuanya. Jadi jangan dipaksakan harus ini harus ini, enggak bisa," katanya.
Sarbini juga mengkritik langkah Wali Kota Bogor, Bima Arya yang dinilai berlebihan dengan mengintervensi pihak RS. Ummi saat menangani Rizieq. Padahal, menurut dia, tak ada yang bermasalah secara penanganan medis pihak Ummi kepada Rizieq.
"ini karena Pak Wali Kota-nya yang bikin ramai, ya seperti ini. Setelah itu polisi coba wawancara, coba diskusi lah hal-hal yang perlu kita jelasin," kata dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Polhukam) Mahfud MD menyebut catatan kesehatan (medical record) pasien dapat dibuka untuk keadaan khusus, salah satunya terkait dengan penyakit menular.
Berdasarkan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, katanya, memang terdapat ketentuan bahwa pasien memiliki hak untuk tidak membuka catatan kesehatan.
"Tapi di sini berlaku dalil lex specialis derogat legi generali, bahwa kalau ada hukum khusus, maka ketentuan yang umum seperti itu bisa disimpan atau tidak harus diberlakukan," kata Mahfud, dalam konferensi pers, Minggu (29/11).
Ketentuan khusus itu disebut Mahfud, diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kesehatan dan UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Bahwa, catatan kesehatan seseorang bisa dibuka dengan alasan-alasan tertentu.
Pihak yang menghalang-halangi petugas yang melakukan tugas pemerintah bisa diancam dengan ketentuan pidana pasal 212 dan 216.
(thr/arh)