Suara kritis kepada pemerintah di sepanjang 2020 lebih keras terdengar dari luar gedung DPR. Kelompok oposisi ekstra parlementer menyeruak di masa ketika mayoritas fraksi bersepakat bergabung dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Wajah oposisi sepanjang tahun ini beragam. Berasal dari pihak yang memang memberi alternatif kebijakan atau sekedar sikap asal beda dalam sejumlah masalah.
Gelombang oposisi datang dari kelompok masyarakat sipil, warga negara biasa dengan efek yang menyita perhatian publik, atau dari kelompok identitas keagamaan. Tagar #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya jadi ikon gerakan oposisi sepanjang 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persoalan paling disorot oleh kelompok oposisi antara lain penanganan pandemi Covid-19, Omnibus Law Cipta Kerja, hingga penegakan hukum.
Firman Noor, Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dalam makalahnya berjudul 'Oposisi dalam Kehidupan Demokrasi: Arti Penting Keberadaan Oposisi Sebagai Bagian Penguatan Demokrasi di Indonesia' (2016), tak membatasi makna oposisi sebagai partai politik di parlemen yang berbeda suara dengan Pemerintah.
"Esensi yang selalu ada dalam makna oposisi adalah terkait dengan sekelompok orang yang berada di luar pemerintahan, yang secara legal memiliki hak untuk menyuarakan pendapat," tulisnya.
"Dan melakukan aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk melakukan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan, ataupun kebijakan pemerintah berdasarkan pada perspektif ideologis, kenyataan empiris, atau kepentingan tertentu," ia melanjutkan.
Sementara, tak ada jaminan semua aspirasi tertampung oleh pemerintah. Maka di sinilah oposisi menemukan relevansinya.
Pada 2020, gerakan oposisi yang paling menyorot perhatian, dimulai ketika kelompok buruh menggelar demonstrasi di Gedung DPR, 20 Januari 2020.
Massa buruh dari berbagai serikat pekerja menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.
Demonstrasi ini menjadi perlawanan ekstra parlementer pertama di tahun 2020. RUU Cipta Kerja dinilai merugikan buruh dan lebih menguntungkan korporasi.
Setelah aksi buruh 20 Januari, gelombang demonstrasi digelar di sejumlah daerah, diikuti kritik para epidemiolog terhadap penanganan pandemi virus corona (Covid-19).
Pada 7 April atau sebulan setelah kasus pertama Covid-19 terdeteksi, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, Pandu Riono, di depan sejumlah menteri dalam sebuah rapat, meminta pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara nasional.
Ini menjadi salah satu penanda awal kritik para pakar kesehatan terkait penanganan pandemi oleh pemerintah. Namun kritik Pandu di masa pandemi berujung peretasan akun Twitter pribadinya pada 19 Agustus.
Epidemiolog lain yang lantang melontar kritik, antara lain pakar dari Universitas Airlangga Laura Navika Yamani dan Windhu Purnomo, epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman.
Isunya mencakup keseluruhan penanganan pandemi, mulai dari transparansi data sebaran Covid-19, pemaksaan Pilkada 2020 di kala Corona, vaksin Covid-19, hingga libur panjang.
Gerakan masyarakat Papua kembali bergeliat di tahun ini meski tak sebesar demo pasca-kasus rasialisme di Surabaya tahun lalu.
Aktivis Papua, yang didominasi para mahasiswa dan pemuda, masih mengusung tuntutan referendum menjelang berakhirnya otonomi khusus.
Otsus Papua akan berakhir tahun 2021. Pada 14 Juli 2020, mahasiswa dan aktivis Papua turun ke jalan menolak perpanjangan otsus. Mereka berdemonstrasi di depan Kantor Kemendagri, Jakarta.
Aksi berlanjut secara berkala di Jakarta maupun Papua. Puncaknya terjadi pada 16 November saat Majelis Rakyat Papua (MRP) mengadakan rapat dengar pendapat terkait otsus.
Polisi membubarkan rapat tersebut dan menangkap sejumlah orang. Polres Merauke juga menetapkan lebih dari 50 tersangka atas dugaan makar.
Kemudian, saat PSBB dilonggarkan, sejumlah ormas Islam seperti FPI, PA 212, dan GNPF pada 16 Juli turun ke jalan menolak RUU HIP.
Aksi yang diikuti ribuan orang ini terpusat di Kompleks Parlemen. Massa menolak RUU HIP karena dicurigai berpotensi membangkitkan komunisme dan menyederhanakan Pancasila menjadi Ekasila.
Merespons aksi itu pemerintah mengusulkan RUU HIP berubah jadi RUU BPIP dengan meniadakan pasal Ekasila.
Sejumlah aktivis mendeklarasikan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, Jakarta, 18 Agustus 2020 atau sehari setelah peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia.
Beberapa nama kawakan sebagai deklarator di antaranya Din Syamsuddin, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, aktivis Rocky Gerung, Jumhur Hidayat.
Setelah deklarasi di Jakarta, Gatot dkk. mulai menggalang dukungan dan deklarasi di daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.
Acara-acara itu selalu diwarnai aksi penolakan oleh ormas lain. Misalnya deklarasi KAMI di Magelang, Jateng, pada September lalu. Sejumlah anggota ormas sempat menyerang deklarasi itu. Namun digagalkan kepolisian.
Dalam perjalanannya, KAMI keras mengkritik kebijakan pemerintah. Mulai dari penanganan pandemi Covid-19 hingga pilkada serentak di tengah pandemi.
Tak lama setelah deklarasi KAMI, DPR dan pemerintah sepakat mengesahkan RUU Cipta Kerja, 5 Oktober 2020. Demonstrasi mahasiswa dan buruh kembali bermunculan.
Tagar #ReformasiDikorupsi dan #MosiTidakPercaya meroket di Twitter. Demo besar pun digelar di Jakarta dan berbagai daerah.
Puncak demonstrasi terjadi pada 8 Oktober. Di Jakarta demo terpusat di kawasan Patung Kuda dekat Istana Negara. Massa mengular hingga ke Gambir dan Tugu Tani.
Polisi melakukan tindakan represif membubarkan massa. Sejak sekitar pukul 14.00 WIB, gas air mata dan meriam air sudah ditembak. Sebanyak 5.918 pengunjuk rasa ditangkap.
Setelah demo besar 8 Oktober, aksi buruh dan mahasiswa memang tetap berlanjut, namun dengan intensitas dan jumlah massa yang kian menyusut.
KAMI dituduh sebagai dalang unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja. Tiga elite KAMI pusat ditangkap polisi dengan tuduhan ujaran kebencian.
Tokoh KAMI Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dan Anton Perdana mendekam di penjara karena dituduh menyebar ujaran kebencian berujung vandalisme di demonstrasi.
Unjuk rasa mereda pada awal November. Tepatnya setelah publik teralihkan oleh kepulangan Imam Besar FPI Rizieq Shihab, 10 November.
Rizieq menginjakkan kaki di Jakarta sekitar pukul 08.40 WIB, setelah tiga tahun lamanya menetap di Arab Saudi akibat tersangkut kasus konten pornografi.
Kepulangannya disambut ribuan orang yang menyesaki Bandara Soekarno-Hatta. Rizieq dinilai sebagai suntikan tenaga bagi oposisi, terutama dari kalangan ormas Islam.
"Akan muncul figur sentral dari kelompok oposisi jika HRS (Habib Rizieq Shihab) pulang ke Indonesia. Selama ini belum muncul figur oposisi yang kuat," kata pengamat intelijen Stanislaus Riyanta saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (4/11).
Rizieq menjadi sorotan publik karena mampu menghadirkan ribuan orang pengikut meski sudah lama tak di Indonesia.
Acaranya di Petamburan dan Tebet memicu kerumunan di masa pandemi, yang membuatnya terseret kasus hukum.
Puncaknya, terjadi bentrok antara polisi dan laskar FPI di Tol Cikampek, 7 Desember. Enam laskar FPI ditembak mati.
Polisi berdalih para korban mengancam petugas dengan senjata api dan senjata tajam yang langsung dibantah FPI.
Merangkum rekam aktivisme oposisi sepanjang 2020 dan respons pemerintah terhadapnya, peneliti dari P2P LIPI Wasisto Raharjo Jati menilai ada kecenderungan penurunan kebebasan berpendapat pada periode pemerintahan kali ini.
Pemerintah juga acap menangkis kritik, yang ditengarai Wasis sebagai upaya rezim menjaga stabilitas demi pembangunan ekonomi.
(dhf/arh)