Situasi keamanan di Papua belakangan ini kembali menunjukkan eskalasi dan cenderung memanas. Pelbagai aksi unjuk rasa menolak status otonomi khusus (Otsus) hingga insiden penembakan akibat konflik bersenjata terus memakan korban jiwa, baik warga sipil, tokoh masyarakat hingga aparat keamanan.
Berdasakan catatan CNNIndonesia.com, setidaknya rentetan konflik bersenjata dalam dua pekan terakhir tersebut telah memakan enam korban tewas.
Terkait kontak senjata tersebut, TNI sempat merilis hal tersebut dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebutan yang disematkan pada Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) bertujuan mencari perhatian untuk Sidang Umum PBB.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lalu, sepekan belakangan ini aksi demonstrasi menolak Otsus juga marak terjadi di Papua. Baru-baru ini, puluhan mahasiswa menggelar unjuk rasa menolak penerapan otonomi khusus Papua Jilid II di sekitar Universitas Cendrawasih, Jayapura, Papua, Senin (28/9).
Berbagai upaya sebetulnya telah dilakukan pemerintah untuk menemukan solusi meredam gejolak di Papua. Salah satunya melalui mekanisme afirmasi dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dalam beleid tersebut, dana Otsus berlaku sampai 2021. Dengan kata lain, tahun depan dana otsus untuk Papua dan Papua Barat akan habis masa berlakunya.
Diketahui, pemerintah menetapkan dana otsus Provinsi Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2021(RAPBN 2021) sebesar Rp7,8 triliun. Angka ini naik dari APBN Perubahan 2020 yakni Rp7,6 triliun.
Sesuai dengan amanat UU, alokasi dana Otsus provinsi Papua dan Papua Barat setara dengan dua persen dari total pagu dana alokasi umum (DAU) Nasional dan berlaku selama 20 tahun.
Secara kumulatif, dana Otsus dan DTI untuk Papua dan Papua Barat naik dari Rp12 triliun pada anggaran penyesuaian 2020 menjadi Rp12,2 triliun pada 2021. Peningkatan sejalan dengan kenaikan pagu DAU Nasional tahunan.
"Dengan adanya DTI tersebut diharapkan sekurang-kurangnya dalam waktu 25 tahun sejak tahun 2008 seluruh kabupaten/kota, distrik atau pusat-pusat penduduk lainnya dapat terhubungkan dengan transportasi darat, laut, dan/atau udara yang berkualitas," seperti dikutip dari Nota Keuangan RAPBN 2021.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri mengibaratkan gejolak di Papua selama ini seperti kebakaran api besar namun tak tuntas dipadamkan pemerintah pusat Indonesia yang berada di Jakarta.
"Apinya memantik sampai besar lagi sampai besar lagi. Nah ini kejadian yang selama beberapa tahun belakangan enggak pernah surut," kata Aisah membagikan pendapatnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (29/9).
Aisah sendiri menilai berbagai konflik dan gejolak di Papua tak akan berakhir andai pemerintah pusat belum menyelesaikan empat akar masalah yang selama ini terjadi di sana. Empat akar masalah tersebut, katanya, sudah pula dipetakan dalam riset LIPI pada 2009 lalu.
Masalah pertama, kata dia, tentang perbedaan perspektif antara Jakarta dan masyarakat Papua mengenai sejarah integrasi dan status politik wilayah itu. Aisah mengatakan selama ini persoalan proses integrasi ke Indonesia dipandang dengan perspektif berbeda antara 'Jakarta' dan Papua.
Aisah menyatakan beberapa pihak di Papua menilai proses integrasi Papua ke Indonesia bermasalah. Sebab, sidang penentuan pendapat rakyat (Pepera) 2 Agustus 1969 silam dinilai tak melibatkan kelompok masyarakat Papua secara menyeluruh.
"Jadi ada persoalan faksi kelompok di Papua dan Jakarta dalam melihat proses integrasi di Papua berbeda-beda," kata Aisah.
![]() |
Akar masalah kedua, kata Aisah, kegagalan rencana dan pelaksanaan pembangunan di Papua. Aisah menyatakan gelontoran dana Otsus tak berbanding lurus dengan masifnya pembangunan, serta pembangunan sumber daya manusia di Papua. Malah sebaliknya, Aisah menyatakan angka kemiskinan makin tinggi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua sangat rendah. Data itu didapatkan dari riset yang dilakukan LIPI pada 2017 silam.
"Padahal ini udah puluhan tahun Otsus diberikan. Ini kan jadi anomali ya," kata dia.
Lalu akar masalah ketiga, kata Aisah, adalah persoalan diskriminasi dan stigmatisasi yang kerap dialami masyarakat Papua. Aisah menyatakan diskriminasi masyarakat Papua mencapai titik kritis setelah ada peristiwa dugaan rasialisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur pada 2019 lalu.
Yayasan LBH Indonesia turut mencatat kurun waktu 2018-2019 ada 30 kasus terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang dialami mahasiswa Papua di Indonesia.
"Problem diskriminasi masih banyak. Ini jadi masalah meski Otsus udah berjalan, afirmasi udah dilakukan," kata dia.
Akar masalah terakhir adalah persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan masih maraknya kekerasan bersenjata. Aisah menilai janji pemerintah untuk mengusut pelanggaran HAM berat di Wamena, Wasior dan Paniai tak kunjung tuntas sehingga membuat ketidakpuasan di kalangan masyarakat Papua.
Belum lagi, kata dia, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat bersenjata terhadap masyarakat sipil di Papua masih terus terjadi sampai saat ini
"Jadi bila akar masalah belum selesai akan meletup-meletup lagi, entah nanti yang diangkat isu pembangunannya, isu pelanggaran HAM nya. Bila enggak tuntas, maka akan timbul terus," kata Aisah.
![]() |
Lihat juga:Panas Dingin Konflik Papua di Tangan Jokowi |
Melihat pelbagai persoalan tersebut, Aisah menilai pendekatan dialog dan rekonsiliasi bisa menjadi solusi untuk mengurai benang kusut akar persoalan di Papua. Pemerintah Indonesia, kata dia, bisa mengedepankan dialog bersama seluruh elemen masyarakat Papua untuk mencari solusi bersama membangun bangsa Indonesia ke depannya.
"Pendekatan ini dianggap sangat strategis menyelesaikan konflik Papua. Karena Indonesia sukses melaksanakan dialog untuk menyelesaikan konflik di dalam dan luar Indonesia. Ini sebenarnya dari sisi kapasitas kita mampu," kata dia.
Aisah menilai kultur masyarakat Papua sangat mengedepankan dialog dalam memecahkan suatu masalah. Masyarakat Papua, kata dia, pasti ingin diajak berdialog oleh pemerintah pusat untuk mencari solusi dan kesepakatan bersama guna mengurai pelbagai persoalan di sana.
"Selama ini enggak diajak dialog. Melalui dialog semua pihak bisa diajak bicara, menarik kesepakatan di antara pelbagai pihak," kata dia.
Meski demikian, Aisah memberikan catatan tegas agar dialog yang digelar pemerintah pusat itu hanya sekadar kegiatan seremonial semata. Ia menyatakan dialog dalam konteks untuk memecahkan pelbagai masalah di Papua tak cukup hanya sebulan selesai.
Apalgi, kata dia, kompleksitas masalah di Papua sangat rumit ketimbang konflik yang sempat terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti Aceh dan Ambon beberapa waktu silam.
"Tentu pendekatan berbasis perdamaian harus ditempuh bersamaan. Jadi enggak bisa, proses dialog dilakukan tapi kekerasan masih terjadi. Ini jadi perhatian. Perdamaian harus dipastikan. Enggak ada kekerasan dan konflik selama dialog," kata dia.
![]() |
Di sisi lain, secara terpisah, anggota DPD RI asal Papua Barat, Filep Wamafma tak memungkiri kenyataan bahwa masyarakat di sana sudah banyak pula yang tak percaya pada pemerintahan pusat saat ini. Pasalnya, kata dia, tak ada langkah konkret dari pemerintah pusat untuk menyelesaikan pelbagai gejolak dan konflik yang kerap terjadi di Papua selama ini.
"Yang utama kan enggak ada konflik. Bagaimana agar rakyat sipil enggak berjatuhan, nah ini enggak ada langkah kongkretnya," kata Filep kepada CNNIndonesia.com.
Lebih lanjut, Filep menganggap pemerintah pusat terlalu memandang sederhana konflik dan gejolak yang terjadi di Papua selama ini. Bahkan, ia melihat selama ini konflik di Papua hanya dianggap sebagai persoalan regional/daerah dan bukan dijadikan sebagai persoalan secara nasional.
"Soal ribut di Papua itu dianggap persoalan biasa oleh pemerintah. Soal penembakan, demo-demo penolakan Otsus, soal KKB dianggap biasa-biasa saja. Itu cara pendekatannya terlalu memandang sederhana," kata Filep.
"Di sidang umum MPR dan sidang umum PBB jelas terjadi perbedaan signifikan dalam melihat Papua. Di PBB negara lain melihat persoalan di Papua serius, tapi presiden enggak memandang serius di sidang MPR," imbuh Filep soal penilaiannya.
Serupa Aisah, Filep menyarankan agar pemerintah pusat bisa menyelesaikannya persoalan Papua dengan mengajak dialog bersama masyarakat wilayah Indonesia Timur tersebut. Dialog, kata dia, bisa dilakukan untuk membuka ruang komunikasi dan sarana serap aspirasi bagi masyarakat Papua.
"Padahal ada ruang sesungguhnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah melalui dialog justru dikesampingkan. Dialog enggak dilakukan untuk penyelesaian itu," kata dia.
(rzr/kid)