Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab tak memenuhi panggilan perdana untuk agenda pemeriksaan terkait kasus kerumunan massa di Megamendung, Bogor, Kamis (10/12).
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Kombes Erdi A mengatakan, pihaknya telah menerima surat dari kuasa hukum yang menjelaskan kliennya tak bisa hadir karena kondisi kesehatannya tidak mendukung untuk memenuhi panggilan hari ini.
"Pengacara dari yang bersangkutan sudah datang dan menyampaikan kepada penyidik dalam bentuk surat bahwa bapak HRS tidak bisa hadir dengan alasan masih kelelahan," kata Erdi, Kamis (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Erdi mengatakan, penyidik segera mengirimkan surat panggilan kedua terhadap Rizieq. Namun ia belum bisa memastikan penjadwalan pemanggilan kedua tersebut.
"Maka dari itu penyidik akan membuat rencana selanjutnya yaitu pemanggilan kedua tapi masalah waktu belum ditentukan. Pemanggilan kedua tetap dilayangkan tapi waktu belum jelas, yang jelas secepatnya," ujar Erdi.
Sementara itu, kuasa hukum Rizieq Shihab, Aziz Yanuar membenarkan bila alasan ketidakhadiran kliennya karena faktor kelelahan.
"Tadi sudah disampaikan bahwa belum dapat memenuhi panggilan karena masih berduka atas meninggalnya enam laskar FPI dan masih dalam tahap pemulihan kesehatan beliau," ujar Aziz melalui pesan singkat.
Kasus yang tengah diselidiki ini bermula saat Rizieq menghadiri acara di Pondok Pesantren Alam Agrokultural beberapa pekan lalu.
Massa yang hadir dalam acara tersebut membludak dan tak menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Polisi mengatakan ada potensi tersangka dalam dugaan pelanggaran protokol kesehatan. Meski demikian, hingga saat ini penyidik belum menjerat satu pun tersangka.
Sebelumnya polisi juga telah meminta keterangan sejumlah pihak, termasuk Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Kemudian, polisi menjadwalkan undangan klarifikasi Bupati Bogor, Ade Yassin.
Dalam kasus ini, kepolisian menggunakan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.
(hyg/ain)