Pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih menjadi polemik. Sebagian pihak, termasuk misalnya Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai beleid ini mampu menekan kasus kekerasan seksual hingga melindungi korban.
Namun begitu, tidak sedikit pula pihak yang menolak RUU tersebut disahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Guru Besar kajian gender dan studi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Nina Nurmila membeberkan, penolakan RUU PKS berasal dari kelompok-kelompok konservatif yang masih menganggap RUU tersebut melegalkan perzinaan.
Kelompok konservatif ini, lanjut Nina, sangat militan dan pandai menggunakan media sosial untuk menyebarkan hoaks-hoaks mengenai RUU PKS.
"Mereka juga merekrut anak muda, mempengaruhi mereka dan melakukan kontra narasi dengan menggunakan berbagai media untuk menentang ide-ide progresif," ungkap Nina dalam sebuah diskusi virtual, Jumat (11/12).
Nina menambahkan, kelompok konservatif ini juga menentang kesetaraan dan keadilan gender. Hal itu terlihat jelas ketika mereka menunjukkan diri sebagai oposisi dari RUU PKS.
Menurut Nina, para kelompok konservatif mulai menunjukkan sikap pada 2017, setelah kalah dalam uji materi atau judicial review Pasal 284, 285, 292 KUHP. Ketiga pasal tersebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan.
Saat itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi ketiga pasal tersebut yang diajukan oleh Guru Besar IPB Euis Sunarti bersama sejumlah pihak.
"Saya melihat kekalahan mereka dalam judicial review KUHP Pasal 284,285, dan 292 yang berakhir kalah itu yang menjadi titik poin kemarahan dan dendam mereka," Nina menduga.
Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe'i mengatakan, kehadiran RUU PKS sejatinya merupakan sesuatu yang sangat revolusioner. Namun ia menyayangkan, RUU ini justru hadir di tengah konservatifme agama mulai menguat di Indonesia.
"[RUU PKS] hadir dalam waktu yang di mana cara pandang fundamentalis dan radikalis, atau konservatif sedang menguat di Indonesia. RUU PKS ini sesuatu yang revolusioner, hadir di ruang yang tidak tepat," ungkap Imam.
![]() |
Menurut Imam, RUU PKS akan sulit dipahami dan dimengerti oleh kelompok-kelompok konservatif. Pasalnya, dalam rancangan tersebut mencantumkan jenis-jenis kekerasan seksual yang sebelumnya tidak pernah ada.
"Dari tiga jenis kekerasan seksual, tiba-tiba menjadi sembilan. Kenaikan dari tiga ke sembilan tentu saja semakin banyak pelaku (kekerasan seksual) yang bisa ditangkap. Makanya banyak orang yang gemetaran juga," ungkap dia lagi.
![]() |
Seperti diketahui, RUU PKS telah melalui jalan panjang. Awalnya, aturan ini diinisiasi Komnas Perempuan sejak 2012 menyusul kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Sekitar empat tahun lamanya Komnas Perempuan membujuk DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Baru pada Mei 2016 Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik payung hukum tersebut.
Namun begitu, RUU PKS sampai dengan saat ini tak juga dibahas DPR. Di sisi lain, penolakan RUU PKS juga masih kerap terjadi.