Mahkamah Agung memvonis bebas dosen Universitas Sumatera Utara (USU) Himma Dewiyana Lubis terkait hoaks teror bom sebagai pengalihan isu.
"Ya benar (putusan bebas)," kata Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis (17/12).
Himma sebelumnya dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Dalam pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan menilai Himma bersalah dalam kasus ujaran berbau SARA karena membuat unggahan di Facebook yang menyebut teror bom di Surabaya pada Mei 2018 sebagai pengalihan isu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, Himma menuliskan 'Skenario pengalihan yang sempurna #2019GantiPresiden" dan 'Ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang'.
Himma kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Di PT Medan, hukuman Himma diperberat dan dijatuhi hukuman satu tahun penjara.
Ia kemudian melakukan upaya kasasi ke MA. Di MA, Himma akhirnya diputus bebas oleh Majelis Hakim yang diketuai Surya Jaya dan anggota Sofyan Sitompul serta Sugeng Sutrisno.
Majelis hakim berpendapat, kata-kata yang diunggah Himma tidak dapat diartikan sebagai berita, informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.
Selain itu, kalimat #2019GantiPresiden dalam negara demokrasi adalah sah dan merupakan hak konstitusional setiap warga masyarakat. Kalimat itu juga dinilai masih sesuai dengan konteksnya, yakni bertepatan dengan tahun 2019 yang saat itu akan menggelar Pemilu Presiden.
"Pemikiran/pendapat #2019GantiPresiden tepatnya pada ajang pesta demokrasi pemilihan umum tahun 2019 yang disampaikan melalui sarana elektronik bukan dimaksudkan sebagai bentuk ujaran kebencian atau permusuhan terhadap pemerintahan yang berkuasa atau permusuhan atau kebencian terhadap kelompok pendukung pemerintah," demikian pertimbangan hakim.
"Melainkan suatu ekspresi pemikiran/pendapat yang berbeda dalam hal sikap dan pilihan politik. Kata-kalimat tersebut tidak dapat pula dipandang atau diartikan sebagai perbuatan makar untuk menggulingkan pemerintahan," lanjut majelis hakim.
(dmi/pmg)