Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman meminta pemerintah memperbanyak testing setidaknya 2-3 kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), karena angka positivity rate infeksi virus corona di Indonesia yang tinggi.
Positivity rate harian Indonesia pada Senin (21/12) lalu sebesar 27,6 persen atau lima kali lipat dari standar positivity rate yang ditetapkan WHO yakni 5 persen.
Padahal, data Satgas Covid-19 hari itu menunjukkan testing PCR pada orang hanya 24.753. Angka ini pun merupakan yang terendah selama sepekan terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita harus lihat eskalasi pandemi di satu wilayah itu, WHO hanya menetapkan batasan minimal, penting sekali tes harus sesuai dengan eskalasi pandeminya yang ditandai dengan tes positivity rate harus mencapai setidaknya 5 persen," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (22/12).
"Kalau test sudah sesuai standar tapi positivity rate masih tinggi, berarti testing harus 2-3 kali lebih banyak," sambung dia lagi.
Menurut penghitungan CNNIndonesia.com berdasarkan data Satgas Covid-19 sepanjang 14 Desember-21 Desember, Indonesia telah memeriksa 282.296 orang dalam sepekan. Angka ini berarti sudah melampaui target WHO, meskipun pada waktu-waktu tertentu pemeriksaan sempat turun.
Namun begitu kendati sudah melampaui target WHO, akan tetapi angka positivity rate Indonesia tidak pernah di bawah 5 persen. Bahkan data Satgas Covid-19 mingguan pada 13 Desember menunjukkan positivity rate Indonesia 18,1 persen.
Dicky menjelaskan, WHO menilai pandemi akan terkendali jika angka positivity rate di bawah 5 persen, sekitar 3-5 persen. Jika di atas 10 persen maka kondisi penularan di daerah itu sejatinya sedang serius dan tidak terkendali.
"Nilai positivity rate 0-3 persen artinya status pengendalian pandemi itu sangat terkendali, 5-8 persen terkendalinya moderat, 8-10 persen, itu artinya serius karena tes positivity ratenya tinggi, kalau di atas 10 persen, artinya bahwa pandemi di negara itu tidak terkendali," jelas dia.
Inisiator PandemicTalks, Muhammad Kamil, bahkan mengatakan banyak daerah di Indonesia yang sudah menjadi episentrum atau pusat penyebaran Covid-19. Hal ini ditunjukkan dengan angka positivity rate daerah yang tinggi.
Merujuk pada laporan mingguan WHO, kata Kamil, beberapa daerah di Indonesia memiliki positivity rate di atas 5 persen. Seperti Jawa Timur dan Jawa Barat yang positivity ratenya sekitar 20 persen, lalu Yogyakarta 15 persen, adapun DKI Jakarta masih sekitar 10 persen.
"Wilayah lain seperti Papua Barat, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan itu positive rate 50 persen, karena sebagian besar test di Indonesia itu masih di Jakarta aja, padahal episentrum Covid-19 sudah merata," tutur dia lagi.
Kamil menambahkan, ketika kondisi transmisi penularan Covid-19 di masyarakat tinggi, maka patokan testing WHO sudah tidak bisa digunakan.
![]() |
Testing, lanjut dia, harus lebih banyak dari standar WHO agar temuan kasus pun lebih banyak. Selain itu, yang tidak boleh luput adalah intensitas pelacakan pada kontak erat, bukan hanya mengandalkan banyaknya jumlah testing.
"Kalau kondisi saat ini, standar menurut populasi [WHO] sepaham saya sudah gak bisa dipakai, karena derajat transmisinya tinggi, yang luput adalah meningkatkan pelacakan pada kontak erat, bukan hanya meningkatkan testing," kata Kamil.
Ia memaparkan, tim pelacakan Covid-19 selama ini hanya bisa menelusuri 1-2 orang dari penemuan 1 kasus positif. Padahal WHO merekomendasikan pelacakan kontak erat idealnya dilakukan pada 25-30 orang.
Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat data sebaran kasus di Indonesia hingga Selasa (22/12) mencapai 678.125 orang terkonfirmasi positif virus corona. Dari jumlah ini, sebanyak 552.722 di antaranya dinyatakan sembuh dan 20.257 orang meninggal terpapar Covid-19.