Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ahmad Sahroni, menyatakan bahwa fraksinya tetap mendesak agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) segera disahkan.
Desakan ini disampaikan Sahroni merespons langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
"Aturan ini jadi angin segar, namun perjuangan kita tidak hanya sampai di sini. Kita harapkan setelah ini, RUU PKS juga bisa segera disahkan di DPR. Kami dari Partai NasDem selama ini konsisten mendukung pengesahan RUU ini," kata Sahroni kepada CNNIndonesia.com, Senin (4/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait PP Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak, Sahroni menyatakan bahwa regulasi itu menunjukkan komitmen pemerintah atas pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak yang kasusnya semakin memprihatinkan saat ini.
Menurutnya, regulasi itu bisa menjadi salah satu jawaban bagi keluarga korban yang kerap kecewa dengan penanganan kasus kekerasan seksual pada anak yang sering dianggap enteng selama ini.
Sahroni pun menyatakan bahwa hukuman kebiri kimia jauh lebih baik dibandingkan wacana memberikan hukuman kebiri berupa pemotongan alat kelamin.
"Lagian juga udah untung sekarang sudah ada teknologi kebiri kimia, bukan kebiri yang beneran dipotong kelamin kayak dulu," katanya.
Senada, anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Maman Imanulhaq menyambut baik penerbitan PP Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Namun, dia berkata terdapat sejumlah catatan kritis terkait regulasi tersebut. Pertama, kata Maman, regulasi yang dikeluarkan pemerintah kerap menghadapi kendala pada implementasi teknis di lapangan.
Ia pun mengingatkan agar PP Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak hal itu.
"Tentu harus diantisipasi bahwa kekerasan seksual itu harus dihentikan melalui berbagai tahapan. Pertama, soal edukasi, edukasi terhadap publik tentang pentingnya masyarakat mengantisipasi munculnya predator-predator seks," ujar dia.
"Si anak pun diberikan pengetahuan semacam sex education sehingga mereka bisa membedakan mana yang betul-betul membahayakan dirinya sehingga dia bisa menyelamatkan sendiri," imbuhnya.
Selanjutnya, menurut Maman, harus ada koordinasi yang tepat antara seluruh komponen masyarakat dan pemerintah untuk mengurangi angka kekerasan seksual terhadap anak.
"Termasuk di dalamnya meningkatkan kawasan-kawasan waspada kekerasan, dengan menciptakan kampung-kampung aman, sekolah-sekolah yang ramah dan aman untuk anak, dan juga kawasan tertentu lainnya," urai dia.
Terakhir, Maman meminta aparat penegak hukum lebih bersikap tegas. Menurutnya, beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak tak jelas kelanjutannya.
"Aparat untuk bertindak tegas karena saya melihat beberapa kasus anak-anak jadi korban, mereka (pelaku) tiba-tiba selesai begitu saja atas nama kekeluargaan. Sehingga, predator itu akhirnya memangsa semakin banyak, korban semakin banyak, nauzubillah. Lalu korban menjadi pemangsa di suatu saat. Itu harus dihentikan," ucap Maman.
Sebelumnya, Jokowi meneken PP Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.
Regulasi ini merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2OO2 tentang Perlindungan Anak tersebut, ditandatangani dan ditetapkan Jokowi pada 7 Desember 2020.
(mts/ayp)