Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengungkap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bisa menggantikan batu bara dengan pelet yang dibuat dari sampah untuk memproduksi listrik.
"RDF (refuse-derived fuel) itu teknik sampah dicacah lalu dikeringkan, kemudian menjadi pelet. Pelet kecil-kecil sebagai pengganti batu bara," katanya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IV DPR di Gedung DPR/MPR, Senin (1/2).
Ia mengatakan setidaknya 5 persen dari PLTU di Indonesia sudah memakai pelet sampah untuk memproduksi listrik. Menurut dia, pelet sampah lebih ramah lingkungan karena kalori yang dihasilkan lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, di hadapan wakil rakyat tersebut, Siti mengaku mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk meningkatkan jumlah PLTU yang memakai pelet sampah dibandingkan batu bara. Hal itu didorongnya, meskipun ia memahami harga dari penggunaan pelet sampah tidak kompetitif dibandingkan batubara, sehingga minat pasar masih rendah.
"Di NTB kalau lihat harga mesinnya Rp30 juta, mesin cacahnya. Harga pengeringan lain-lain itu Rp120 juta. Untuk kapasitas kalau nggak salah di Mataram itu 100 ton per hari," tuturnya.
Jika dilihat berdasarkan produksi emisi gas rumah kaca, Siti menyatakan sektor energi belum memiliki kinerja baik. Dalam kurun 2000-2018, sektor energi baru berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 19 persen. Sementara itu, penurunan emisi di sektor kehutanan telah mencapai 70 persen.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Komisi IV DPR Sudin meminta KLHK merinci perbandingan harga jika PLTU mengganti batu bara dengan pelet sampah. Ia menyarankan pemerintah mensubsidi sumber listrik dari sampah itu.
"Kenapa nggak sumber listrik dari sini disubsidi oleh pemerintah agar dibeli PLN. Orang swasta saja sampai Rp10 triliun ada. Harusnya diambil alih dong, subsidi. Karena sampah menjadi masalah nasional," kata dia.
Sebelumnya, Greenpeace Indonesia memproyeksi PLTU akan menyumbang 330 juta ton emisi per tahun pada 2080 jika seluruh kapasitas sebesar 55 gigawatt beroperasi. Diketahui, emisi gas rumah kaca berperan besar dalam memperparah krisis iklim dunia.
Sementara, pemerintah memiliki target penurunan emisi 29 persen hingga 41 persen pada 2030. Dengan masih masifnya penggunaan batu bara di sektor energi, aktivis lingkungan pesimis target nasional dan global terkait perubahan iklim bisa tercapai.