Pilkada 2024, Partai Penguasa Untung, Lainnya Buntung
Pemerintah memutuskan tidak melakukan revisi terhadap revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dengan demikian, pilkada selanjutnya baru akan digelar serentak di seluruh Indonesia pada 2024 mendatang. Tidak dihelat pada 2022 dan 2023 seperti dalam draf Revisi UU Pemilu yang sempat dimunculkan DPR.
Pilkada bakal digelar di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia pada 2024 bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, DPD serta pilpres. Hal itu diatur dalam UU Pemilu dan Pilkada yang masih berlaku saat ini dan ogah direvisi pemerintah.
Sejumlah pihak tak sepakat dengan itu. Mereka mengusulkan agar UU Pemilu dan Pilkada direvisi, sehingga pilkada tidak digelar serentak pada 2024 bersama dengan pileg dan pilpres.
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro memperhitungkan implementasi UU Pemilu di 2024 akan lebih banyak menghasilkan kerugian daripada keuntungan.
Dengan kontestasi politik yang berlangsung dalam satu tahun yang bersamaan, Siti menilai bakal banyak memakan banyak korban. Terutama dari kalangan penyelenggara.
Dia berkaca pada gelaran Pilpres dan Pileg yang dihelat serentak pada 2019 lalu. Sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dunia, sementara 5.175 petugas lainnya sakit.
"Itu kerugian yang betul-betul tak terperi bagi Indonesia. Maka akan ada banyak kerugian juga yang kita tuai dari Pemilu-Pilkada serentak yang direncanakan 2024 nanti, karena kita belum melakukan evaluasi secara serius tentang Pemilu 2019," kata Siti saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/2).
Tiada Legitimasi
Jika UU Pemilu dan Pilkada tidak direvisi, bakal ada 272 pemerintah daerah yang akan dipimpin oleh penjabat (Pj) kepala daerah. Mereka bakal menggantikan 171 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2022 dan 101 yang selesai menjabat pada 2023.
Sejauh ini, Kemendagri sudah menjelaskan bahwa Pj tersebut memiliki kewenangan penuh seperti halnya kepala daerah yang terpilih lewat pilkada.
Namun, Siti ragu masyarakat bisa menerima itu. Dia menegaskan bahwa masyarakat punya hak untuk memilih kepala daerah yang akan memimpinnya di pilkada.
Siti mengatakan dampak psikologis pun bisa muncul, lantaran masyarakat dipimpin oleh Pj kepala daerah bukan hasil pilkada.
"Kalau kita bicara soal legitimasi dan semangat otonomi daerah, ya masyarakat di daerah bisa memilih sendiri siapakah pemimpinnya," kata dia.
Siti pun menilai ongkos Pemilu yang dilaksanakan serentak pada 2024 akan lebih besar. Pada 2019 lalu, ketika pileg dan pilpres dihelat bersamaan, ada kenaikan anggaran 61 persen.
Angka itu akan diprediksi bertambah lagi lantaran pileg dan pilpres bakal digelar bersamaan dengan pilkada seluruh Indonesia di tahun 2024.
"Jadi asumsi ya bahwa pemilu serentak 2019 akan ngirit, efisien, boro-boro," kata dia.
Diketahui, Pemilu 2019 lalu memakan anggaran Rp25,59 triliun. Naik dari Pemilu 2014 lalu yan hanya Rp15,62 triliun. Padahal, pileg dan pilpres pada 2014 lalu digelar di waktu yang berbeda, yakni selang beberapa bulan.
Siti juga mengaku tergelitik kala mendengar anggapan bahwa Pemilu 2024 serentak bertujuan untuk mengurangi ketegangan sosial akibat polarisasi di masyarakat akibat perbedaan jagoan pilihan.
Dia merasa anggapan itu tidak tepat. Menurutnya, setiap kontestasi politik pasti terjadi ketegangan sosial.
Justru ketegangan bakal lebih masif terjadi di 2024 karena pileg, pilpres dan pilkada seluruh Indonesia digelar bersamaan.
"Dengan tujuh kotak (suara) dalam tahun yang sama maka konflik borongan akan lebih masif lagi. Itu harus dihindari, jangan dipaksakan soal pembenaran justifikasi yang tidak rasional," jelasnya.
Terpisah, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai presiden, pemerintah pusat atau partai yang penguasa mendapat banyak keuntungan jika UU Pemilu dan Pilkada tidak direvisi.
Salah satunya mengenai penunjukkan 272 Pj kepala daerah di 2022 dan 2023 yang akan memimpin pemda hingga pilkada digelar pada 2024.