ANALISIS

SE Kapolri, Wadah Uji Integritas Polisi di Tengah Riuh UU ITE

CNN Indonesia
Rabu, 24 Feb 2021 17:02 WIB
Tengah Februari ini dalam Rapim TNI-Polri, Presiden Jokowi melontarkan wacana revisi UU ITE, lalu Kapolri sementara menerjemahkannya lewat SE bagi jajarannya.
Ilustrasi media sosial. (AFP PHOTO / MOHAMMED ABED)

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan sebenarnya UU ITE memang perlu dibenahi. Beberapa pasal yang termuat dalam beleid tersebut yang justru melahirkan ketidakadilan, terutama dalam menyampaikan kritik.

Oleh sebab itu, dia menyarankan kepada tim pengkaji UU ITE yang dibentuk pemerintah dapat menelisik dengan baik setiap kasus-kasus yang pernah terjadi. Dari situ, akan terlihat jelas pasal yang perlu diperbaiki dalam perubahan UU.

Fickar mencontohkan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2). Menurutnya aturan itu memicu semua kasus bernuansa ujaran kebencian dapat dipidanakan. Hal itu, lagi-lagi bertumpu pada pendapat korban atau mungkin pemerintah yang dalam perkara ini terlibat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ini berpotensi menjadi alat pembungkaman kritik bagi masyarakat," kata dia.

Dalam pasal 28 ayat (2), Fickar menekankan sebenarnya aturan itu ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusuhan atau perpecahan yang didasarkan pada SARA. Hanya saja, pada praktiknya seringkali pasal itu digunakan dalam konteks yang berlawanan.

Sebagai informasi, berikut bunyi pasal 28 ayat (2) UU ITE: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

"Pasal ini memicu semua ujaran dapat dipidanakan tergantung sepenuhnya pada orang-orang yang dianggap menjadi korban bahkan oleh pemerintah sendiri," ucapnya.

Ke depannya, dia pun meminta agar polisi yang melakukan penegakan hukum dapat konsisten dalam menjalankan perintah Kapolri dalam edaran itu. Dia menyebut kasus-kasus yang bersifat personal ke depannya harus lebih dikedepankan agar penyelesaiannya lewat jalur perdata.

Sehingga, kepolisian memang tak perlu turut campur dan bahkan harus memfasilitasi proses mediasi antar pihak yang bersengketa.

"Demikian juga nampaknya (SE dan ST) dimaksudkan upaya lebih hati-hati dalam menangani pelanggaran hukum yang akibat atau kerugiannya menimpa orang perorang. Karena sesungguhnya lebih cocok diselesaikan melalui mekanisme perdata," ujar Fickar.

"Ya sudah sewajarnya pada kasus-kasus seperti ini kepolisian tidak menggunakan upaya paksa," tambahnya.

Dalam waktu yang berbeda, Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono menjanjikan surat edaran dan telegram Kapolri itu nantinya bakal menjadi wadah bagi pimpinan Polri untuk melakukan pengawasan pada anggotanya.

Pasalnya, kata dia, aturan itu telah memuat secara rinci kasus-kasus dengan model seperti apa yang harus ditangani. Sehingga penafsiran penyidik dapat ditekan.

"Dalam pelaksanaan melakukan surat edaran Bapak Kapolri ini, atasan juga nanti akan menilai. Akan memberikan reward dan punishment terhadap penyidik yang melakukan penyidikan terhadap perkara tersebut," kata Argo usai penerbitan pedoman itu.

"Sehingga, nanti benar-benar penyidik itu merasa diawasi," tambahnya.

Argo berharap, pengawasan itu nantinya dapat membuat personel Korps Bhayangkara dapat bertindak sesuai dengan yang diperintahkan pimpinan Polri, terkhusus dalam perkara UU ITE.

(mjo/kid)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER