Di sisi lain, gerakan yang dilakukan kalangan tentara yang dipimpin Soeharto juga penting. Sebab, tanpa peranan tentara, kata Restu, ide tersebut sulit terwujud.
"Keduanya, baik tentara maupun Hamengkubuwono memiliki peranan yang cukup penting dalam konteks Serangan Umum 1 Maret 1949 itu," jelas Restu.
Sementara itu, sejarawan Andi Achdian mengatakan peran Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret hanya komandan lapangan. Sebab, kata Andi, dalam beberapa versi sejarah ketika peristiwa itu terjadi, ada keterlibatan komandan brigade lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat juga:Jokowi dan Ilusi Maaf dari Raja Belanda |
Menurut Andi, sangat tidak mungkin Soeharto menginisiasi gerakan perlawanan itu sendiri. Andi menyebutkan salah satu tentara yang posisinya lebih lebih tinggi dari Soeharto di wilayah itu adalah Kolonel Bambang Sugeng.
"Jadi sangat tidak mungkin hanya seorang Soeharto yang bisa menginisiasi itu. Pasti ada level di atasnya yang bisa menggerakkan pasukan di atas komandonya," terang Andi saat dihubungi melalui telepon.
"Jadi kalau yang dikeluarkan oleh beberapa dokumen itu ya kita bisa lihat bahwa ya Soeharto ada menjalankan tugas sesuai dengan posisinya, ya," tambah Andi.
Andi berpendapat peran Sultan HB IX dalam peristiwa tersebut sangat jauh jika dibandingkan Soeharto. Sultan HB IX, kata Andi, merupakan sosok yang sangat berpengaruh.
"Dia memberikan status secara politik dukungan terhadap revolusi Indonesia," jelas Andi.
Sementara, Soeharto saat itu hanya berpangkat letnan kolonel dan tidak memiliki pengaruh serta jaringan politik.
"Dia enggak bisa apa-apa, dia hanya sekadar komandan pasukan, dia enggak punya pengaruh politik, hanya komandan di brigade tersebut," jelas Andi.
![]() |
Salah satu yang menjadi kontroversi dari sejarah Serangan Umum 1 Maret adalah film Janur Kuning. Menurut Sekjen Masyarakat Sejarawan Indonesia Restu Gunawan, pada film tersebut peran HB IX ditiadakan. Sementara, peran perjuangan Soeharto ditonjolkan.
"Dalam konteks sejarah itu tidak boleh juga, peran HB IX cukup penting kok seolah-olah nggak ada," kata Restu.
Restu menilai pembuatan film tersebut bertujuan untuk menonjolkan kiprah Soeharto pada Serangan Umum 1 Maret.
Film sendiri, menurut restu, merupakan salah satu media yang cukup dekat dengan masyarakat. Terlebih saat itu masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk memproduksi film. Para sineas tidak bisa membuat film tandingan atau membuat film dengan data yang lebih akurat.
"Yang tidak fair di situ," ujar Restu.
Restu menilai, dalam film Janur Kuning terdapat penghapusan fakta sejarah berupa peran HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret. Penghapusan ini dilakukan Soeharto dengan tujuan kekuasaan.
"Penghilangan fakta sejarah itu cukup disayangkan dalam pembelajaran sejarah," protes Restu.
Sementara itu, Andi berpendapat tujuan dari pembuatan film Janur kuning untuk mengangkat legitimasi Soeharto. Sebab, saat itu ia sedang menjadi presiden.
"Sudah pasti lah iklim politik saat itu akan memberikan apapun, memberikan legitimasi kuat soal Soeharto ya," kata Andi.
Padahal, secara faktual saat peristiwa itu terjadi terdapat petinggi militer lain yang lebih berpengaruh dan posisinya di atas Soeharto.
"Ya, itu satu cara gimana rezim membangun kisah sejarahnya. Jadi setiap rezim menciptakan sejarahnya sendiri. Masalah palsu atau lain itu lain soal, ya," tambahnya.