Epidemiolog menilai upaya tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) belum optimal dilakukan pemerintah sepanjang 12 bulan alias genap setahun pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia.
Universitas Airlangga Windhu Purnomo menganggap tidak ada upaya peningkatan kualitas 3T yang cukup signifikan selama ini. Malah, ia menyoroti turunnya angka pemeriksaan harian terhadap warga melalui tes dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM) yang terjadi dalam sepekan terakhir.
"Masih gagap ya, 3T masih sangat lemah memang, hampir tidak ada perubahan dalam setahun. Bahkan, jumlah testing kita semakin melemah," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (2/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Windhu pun memaparkan grafik standarisasi kasus covid-19 yang telah ia buat sebelumnya. Dalam data itu, ia menggunakan pengukuran jumlah kasus dan jumlah pemeriksaan pada periode 11 Februari-1 Maret.
Alhasil di balik pemerintah mengumumkan kasus yang melandai, namun dari hasil standarisasi itu dapat terlihat kasus konfirmasi harian justru meningkat setelah 24 Februari 2021.
"Jadi kemarin testing itu terendah dalam empat bulan terakhir. Kemarin 1 Maret [2021] itu kan testing 18 ribu, itu terendah sejak 1 November [2020], sehingga ada penurunan semu," katanya.
Selain itu, Windhu pun mengaku resah dengan persentase testing yang sampai saat ini hanya mampu menyasar tak lebih dari 3 persen jumlah penduduk Indonesia.
Ia pun mengimbau pemerintah Indonesia berkaca pada India yang berhasil melakukan pemeriksaan terhadap 15 persen warganya, padahal mereka negara yang memiliki jumlah penduduk sangat masif.
![]() |
Windhu mengimbau demikian karena terhitung sejak kasus pertama di Indonesia diungkap pada 2 Maret 2020 hingga 1 Maret 2021, jumlah testing Covid-19 yang dilakukan pemerintah Indonesia berada pada angka 7.213.192 orang dengan total 10.834.875 spesimen. Itu artinya hanya 2,67 dari 270,2 juta penduduk Indonesia yang diperiksa.
Padahal bila mengikuti standar WHO, genap setahun pandemi ini seharusnya jumlah kumulatif tes Covid-19 berada di 12.960.000 orang yang diperiksa atau sekitar 4,8 persen penduduk, itu pun dikatakan ambang batas alias alokasi pemeriksaan terkecil.
"Kalau kita ingin menepuk dada tanpa malu dengan menyebut diri sebagai juara dunia dalam penanganan covid-19 dengan jumlah kasus terendah itu sangat lah mudah. Jangan melakukan testing sama sekali. Kasus akan nol," kata dia.
Namun, masalah penanganan Covid-19 di Indonesia ini menurutnya tak hanya terletak di strategi 3T. Windhu menyebut penguatan penerapan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) juga sangat kurang impelementasinya di tengah masyarakat.
Ia pun mengatakan kondisi itu terjadi karena tiga hal yaitu: komunikasi publik seperti edukasi yang kurang menyeluruh, keteladanan pejabat yang tidak merefleksikan kepatuhan 3M, dan penegakan hukum yang masih suka tebang pilih.
"Lihat saja tokoh masyarakat tingkat desa hingga nasional sama saja, tidak ada keteladanan. Justru memicu kerumunan, ketidakpatuhan, dan law enforcement yang lemah. Ketika orang tidak disukai disanksi dan sebaliknya, sanksi juga tidak tegas hanya menyanyi dan lain-lain itu buat apa?" pungkas Windhu.