Polri: Mayoritas Kasus Hoaks dari Patroli Siber Tak Disidang

CNN Indonesia
Kamis, 04 Mar 2021 17:51 WIB
Ilustrasi patroli siber. (Foto: Istockphoto/ South_agency)
Jakarta, CNN Indonesia --

Polri menyebut 62 dari 112 kasus hoaks yang ditemukan dari patroli siber tak masuk pengadilan alias memakai mekanisme restorative justice.

Sebelumnya, Polri berencana mengaktifkan virtual police untuk memantau media sosial. Peringatan terhadap potensi hoaks akan dikirim langsung berupa pesan ke pemilik akun. Sejumlah pihak pun risau dengan potensi pemidanaan.

Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Dani Kustoni mengatakan sejauh ini pihaknya menemukan total 112 kasus hoaks via patroli siber. Sebanyak 62 di antaranya, kata dia, tidak masuk proses peradilan karena diselesaikan dengan cara restorative justice.

Pemilik akun pun, lanjutnya, telah memberikan klarifikasi dan permintaan maaf karena menyebarkan berita hoaks.

Sementara ada 20 perkara tentang hoaks Covid-19 yang dilimpahkan ke Kejaksaan, 22 perkara dalam proses penyidikan, dan 8 perkara masih dalam proses penyelidikan.

"Itu data saat ini, tetapi kita lihat tentunya Polri berupaya melakukan Virtual Police Alert, sesuai arahan Kapolri, sebelum melakukan penindakan hukum kita berikan imbauan dulu dan edukasi," tuturnya, dalam diskusi daring di Youtube BNPB, Kamis (4/3).

Menurutnya, patroli siber merupakan salah satu langkah untuk untuk menangani penyebaran berita bohong atau hoaks, terutama tentang Covid-19, di media sosial.

"Kita melakukan patroli siber di medsos ketika mengarah ke berita hoax Covid-19 itu kami tindak lanjuti ke pemilik akun," kata Dani.

Terkait penindakan berita hoaks tentang Covid-19 di media sosial, Dani mengatakan pihaknya tidak langsung menerapkan ancaman hukuman pidana. Ia menjelaskan ada langkah-langkah yang diambil pihak kepolisian sebelum membawa kasus tersebut ke ranah hukum.

Pertama, ketika ditemukan berita hoaks soal Covid-19 Polri mencari tahu identitas pemilik akun. Pihaknya juga mengklaim segera mencari klarifikasi kebenaran berita yang beredar ke instansi terkait, dalam hal ini Kementerian Kesehatan atau Satgas Covid-19.

"Kemudian kita koordinasi dengan ahli, seperti ahli pidana, ahli sosiologi, dan ahli bahasa termasuk ahli UU ITE, kita diskusikan apa yang jadi temuan, yang paling penting ini [temuan] membuat onar enggak?" katanya.

"Kita selaku penegak hukum ketika akan melakukan penindakan, mencari tahu dulu unsur-unsur yang tertera dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 maupun UU ITE Pasal 28 ini harus terpenuhi. Sehingga kita baru bisa melakukan penindakan," pungkas dia.

(mel/arh)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK