
Jejak Pertamina Beli Tanah Sengketa di Pancoran

Kuasa hukum ahli waris keluarga Mangkusasmito Sanjoto, Edi Danggur mengatakan 25 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) terbitan 1973 yang menjadi dasar Pertamina mengklaim tanah di Gang Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan telah batal demi hukum.
Hal ini merujuk pada putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) No.1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977. Alasannya, Pertamina dinilai telah melakukan iktikad buruk dalam pembelian lahan yang sedang dalam sengketa pada tahun 1973.
"Iktikad buruk itu maksudnya kan mereka sudah diingatkan berkali-kali agar jangan beli karena sedang dalam sengketa tapi mereka tetap beli," kata Edi saat dihubungi CNNIndoensia.com, Kamis (18/3) sore.
Kasus sengketa antara ahli waris keluarga Sanjoto dengan perusahaan negara Pertamina atas tanah di Gang Buntu II, Kelurahan Pencoran, Jakarta Selatan memang berakar sejak dekade 1970 an.
Mulanya, Sanjoto melakukan kerja sama bisnis dengan Anton Partono dan tiga orang lainnya. Sanjoto dan Anton Partono CS kemudian membeli lahan di Buntu II Pancoran pada tahun 1970 an dari seorang mantan karyawan PT Inarub.
Karena seluruh biaya pembelian lahan itu menggunakan uang Sanjoto, ia meminta agar setifikat tanah itu diberikan kepadanya.
Namun, Anton CS menjual tanah itu secara diam-diam kepada PT Nagasasra Jayasakti. Perusahaan tersebut kemudian menjual tanah di Buntu II kepada Pertamina.
Namun, tindakan Anton CS terendus oleh Sanjoto. Ia kemudian memutuskan untuk membuat pengumuman di tiga media massa, yakni, KOMPAS pada 2 Mei 1973, Sinar Harapan 22 Desember 1972, dan Berita Buana pada 30 April 1973.
"Intinya, siapapun pihak tidak boleh membeli tanah itu karena tanah bermasalah dan tanah dalam sengketa," katra Edi.
Namun, kabar Pertamina akan membeli lahan itu semakin kencang terdengar. Sanjoto kemudian mengingatkan Pertamina dengan cara bersurat melalui kuasa hukumnya Profesor Sudarto Gautama pada 6 Agustus 1973. Inti surat itu adalah permohonan agar tidak membeli lahan karena sedang diperkarakan di pengadilan.
"Eh, ternyata dia tetap beli. Maka digugatlah oleh Pak Sanjoto si Anton Partono dan kawan-kawan," terang Edi.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Selatan No.255/1973 G tanggal 7 September 1974 kemudian menyatakan bahwa semua perjanjian jual beli dengan pihak ketiga dinyatakan batal demi hukum.
Kemudian, pengadilan meletakkan tanah tersebut sebagai Sita Jaminan.
"Sita jaminan itu tanah tadi dinyatakan status quo tidak boleh dijual ke siapa-siapa, tidak boleh dipake siapa-siapa, dialihkan tidak boleh," jelas Edi.
Setelah putusan itu, Anton Partono CS mengajukan banding dan kalah di tingkat Pengadilan Tinggi. Belum menyerah, Anton CS mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, putusan kasasi MA No.1675 K/Sip/1975 tanggal 21 Januari 1977 menyatakan Anton tetap tidak bisa memenangkan sengketa.
Perlawanan terhadap Sanjoto tidak hanya dilakukan Anton CS. Pertamina mengajukan bantahan di pengadilan negeri atas keputusan Sita Jaminan.
"Pertamina kalah di PN, kalah di pengadilan tinggi, kalah di tingkat kasasi," tutur Edi.
Setelah putusan MA memiliki kekuatan hukum tetap atas kekalahan Anton CS, status Sita Jaminan secara otomatis berubah menjadi Sita Eksekusi.
Menanggapi ini, Pertamina kembali melawan. Mereka mengajukan bantahan atas Sita Eksekusi ini di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Namun, Pertamina tetap kalah.
"Jadi Pak Sanjoto sudah menang di perkara Anton Partono, dia juga menang atas bantahan terhadap Sita Jaminan maupun Sita Eksekusi yang diadakan oleh Pertamina," kata Edi menegaskan.
Karena kemenangan itu, Sanjoto mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pertamina kemudian ditegur agar mengikuti putusan hukum dan menyerahkan tanah itu kepada Sanjoto.
Menurut Edi, Pertamina kemudian mengeluarkan surat perintah kepada karyawannya yang berjaga di objek sengketa agar meninggalkan tanah itu pada 11 Februari 1981. Juru sita PN Jakarta Selatan kemudian membacakan putusan yang dihadiri oleh para pihak.
"Berdasarkan itu Pak Sanjoto sudah menempati tanah Buntu II sejak 21 Maret 1981, atau tepat 40 tahun yang lalu," kata Edi.
Namun, 16 tahun berikutnya Pertamina melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas sita jaminan dan sita eksekusi. Putusan pengadilan menyatakan bahwa Pertamina merupakan satu-satunya pemilik tanah di Pancoran itu.
Meski demikian, kata Edi, yang dikabulkan MA adalah bantahan atas Sita Jaminan dan Sita Eksekusi. Putusan MA itu tidak membatalkan putusan kasasi yang menjadi dasar bagi Edi untuk mengajukan eksekusi.
"Apalagi ini kan sudah eksekusi, jadi atas tanah yang sama tidak boleh diajukan eksekusi untuk kedua kali," terang Edi.
Edi mengakui bahwa Pertamina memang memiliki sertifikat atas tanah di Buntu II. Namun, setifikat itu telah batal demi hukum.
"Tapi putusan pengadilan itu mengatakan bahwa sertifikat mereka itu batal demi hukum, karena diterbitkan dengan iktikad buruk," kata Edi.
(iam/agt)[Gambas:Video CNN]