Senjakala Integritas KPK Buah dari Revisi Undang-Undang
Kasus-kasus oknum lembaga antirasuah dinilai sebagai dampak revisi terhadap UU KPK yang memperpanjang birokrasi penyidikan. Selain itu, ada andil buruknya keteladanan dari pimpinan.
Sebelumnya, sejumlah kasus yang dilakukan internal KPK mencuat. Kasus pertama, sanksi etik ringan terhadap Firli Bahuri yang dijatuhkan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait dengan gaya hidup mewah, Kamis (24/9/2020).
Kasus kedua, pencurian barang bukti emas seberat 1.900 gram oleh anggota Satuan Tugas (Satgas) pada Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK berinisial IGAS. Ia kemudian diberhentikan secara tidak hormat oleh Dewas KPK, awal April.
Ketiga, kebocoran informasi soal penggeledahan kantor PT Jhonlin Baratama terkait kasus dugaan suap pajak, pada pekan kedua April 2021. Alhasil, tim penyidik KPK gagal mengamankan barang bukti dari perusahaan milik Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam itu karena sudah lebih dulu dilarikan dan disembunyikan dengan truk.
Keempat, penyidik KPK dari unsur kepolisian AKP Steppanus Robin Pattuju ketahuan memeras Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M. Syahrial Rp1,5 miliar dengan iming-iming penanganan kasus dugaan korupsi dihentikan.
Pada Kamis (22/4) malam, ia sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap bersama Syahrial dan seorang pengacara MH.
Kelima, kasus 'orang KPK' bernama Roni yang diduga memeras Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna Rp1 miliar dengan iming-iming tak terkena operasi tangkap tangan (OTT). Identitas oknum ini masih diselidiki.
Sejumlah pengamat menyebut rangkaian cela di komisi antirasuah itu merupakan dampak dari revisi UU KPK. Di antaranya, pertama, celah kebocoran informasi lantaran jalur birokrasi penyelidikan-penyidikan yang makin panjang akibat keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Dewan Pengawas sendiri di antaranya berwenang memberikan/tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.
"Kenapa ada kebocoran informasi penggeledahan di Kalimantan? kenapa Harun Masiku belum tertangkap? Karena menurut saya di dalam KPK melakukan upaya paksa itu membutuhkan izin Dewas. Itu menambah panjang prosedur perizinan," ucap Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/4).
"Sehingga sangat mungkin informasi terlebih dahulu merembes/bocor sebelum izin didapatkan. Sangat mungkin kemudian para pelaku telah melarikan diri/memindahkan alat bukti," lanjutnya.
Kedua, kesulitan dalam merekrut penyidik independen. Pengajar hukum pidana dari Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menyinggung dominasi penyidik KPK yang berasal dari institusi penegak hukum lain.
Padahal, kata dia, institusi tersebut kerap dipermasalahkan integritasnya sejauh ini. Sementara, katanya, latar belakang pembentukan KPK di masa lalu ialah masalah integritas aparat penegak hukum, yakni polisi dan jaksa, yang bermasalah.
"Penyidik dari institusi penegak hukum yang sudah ada menjadi lebih dominan, padahal sebelumnya KPK diharapkan angkat penyidik sendiri terlepas dari pengaruh negatif di lingkungan penegak hukum yang sudah ada," katanya.
Atas dasar hal tersebut, dia mendorong para pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi terkait rekrutmen penyidik di KPK, terutama membuka ruang lebih lebar bagi rekrutmen penyidik independen.
Diketahui, Pasal 45 ayat (1) UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK membuka ruang bagi penyidik KPK non-kepolisian atau kejaksaan atau PNS. Namun, Pasal 45A mewajibkan penyidik lulus lebih dahulu lulus pendidikan penyidik yang digelar oleh kepolisian dan kejaksaan.
"Ini harus jadi perhatian yang sangat penting, karena dulu pendirian KPK untuk atasi masalah yang dihadapi institusi penegak hukum lainnya yang dianggap integritasnya bermasalah sehingga dilahirkan KPK," ucap Agustinus.
"Ketika ada korupsi dalam [proses] pemberantasan korupsi, artinya sudah gagal dalam memberantas korupsi di negeri ini," cetus dia.
Ketiga, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK. Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menduga kasus pemerasan oleh penyidik dengan janji penyetopan kasus ini terkait dengan kewenangan tersebut.
"Pemerasan yang diduga dilakukan oleh Penyidik KPK tersebut, patut diduga merujuk pada penghentian penyidikan lewat penerbitan SP3 oleh KPK," ujarnya.