Isi Petisi Buruh yang Diserahkan ke MK dan Istana di May Day
Perwakilan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyerahkan petisi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Istana Presiden peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang berlangsung hari ini, Sabtu (1/5).
Berdasarkan dokumen yang diterima CNNIndonesia.com, petisi itu berisi sembilan isu prioritas dari 69 pasal dalam omnibus law Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang dianggap bermasalah dan didesak segera dicabut.
Pertama, terkait pengaturan upah minimum. Dalam UU Ciptaker diatur UMK bersyarat, UMSK dihapus, dan dasar penetapan UMP dan UMK bersifat alternatif, yaitu inflasi atau pertumbuhan ekonomi.
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea dan Presiden KSPI Said Iqbal menilai aturan itu menunjukkan tidak ada perlindungan dari negara untuk mengupayakan kesejahteraan buruh.
Kedua, terkait pengaturan pesangon. Dalam UU Ciptaker diatur nilai UP, UPMK, dan UPH ditetapkan standarnya, dan nilai UPH 15 persen dihilangkan.
Semestinya, menurut KSPSI dan KSPI, perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh diwujudkan dengan membuat pengaturan nilai UP, UPMK, dan UPH tanpa ditetapkan berdasarkan nilai standar.
Ketiga, terkait pengaturan outsourcing. Dalam UU Cipta Kerja diatur hanya ada satu jenis outsourcing, yaitu outsourcing pekerja yang bisa dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, termasuk kegiatan pokok atau tidak hanya kegiatan penunjang.
Lihat juga:Tuntutan-tuntutan Buruh di May Day |
KSPSI dan KSPI menilai perlindungan dan kesejahteraan bagi buruh hanya dapat dicapai apabila outsourcing dibatasi untuk lima jenis pekerjaan saja yang terdiri dari outsourcing pekerjaan dan outsourcing pekerja yang dikhususkan untuk kegiatan penunjang.
"Apabila outsourcing dibenarkan untuk kegiatan pokok maka dapat terjadi seluruh atau sebagian besar pekerja di suatu perusahaan adalah pekerja outsourcing abadi yang ketika mengalami PHK dia tidak akan menerima pesangon dan jaminan sosial dari perusahaan tempatnya bekerja," tulis KSPSI dan KSPI dalam petisinya.
Keempat, terkait pengaturan karyawan kontrak (PKWT). Dalam UU Ciptaker diatur PKWT tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.
KSPSI dan KSPI menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan tujuan bernegara, sebab buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).
Menurut buruh, memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada buruh seharusnya dibuat pembatasan PKWT 3-7 periode kontrak dengan batas maksimal waktu kontrak 5-7 tahun yang diatur pada tingkat UU. Dengan begitu buruh memiliki kepastian hukum dan berpeluang menjadi karyawan tetap.
Kelima, terkait pengaturan tenaga kerja asing (TKA). Dalam UU Ciptaker diatur TKA kategori buruh kasar diberi peluang secara luas untuk bekerja di Indonesia tanpa suatu izin dengan pengawasan terbatas.
Buruh menilai, ketentuan tersebut tidak menunjukkan adanya perlindungan kepada pekerja WNI yang semestinya mendapatkan prioritas untuk mengisi posisi/pekerjaan tersebut.