Jakarta, CNN Indonesia --
Para guru besar dari sejumlah universitas mengutarakan kegelisahan akan nasib pemberantasan korupsi di Indonesia. Mulai dari kekhawatiran bahwa penanganan korupsi kini hanya gimik belaka hingga krisis di tubuh lembaga antikorupsi KPK.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Sigit Riyanto mencium gelagat pemberantasan korupsi hanya bakal jadi gimik tanpa langkah konkret, jika hakim Mahkamah Konstitusi tak membatalkan revisi undang-undang KPK.
Pasalnya, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang merupakan revisi dari UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut jadi salah satu pangkal soal memburuknya kualitas pemberantasan korupsi dua tahun belakangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya khawatir akan kembali lagi seperti ke masa Orde Baru di mana pemberantasan korupsi itu hanya menjadi gimik, tetapi korupsi tetap jalan. Kenapa? Karena memang tidak ada institusi, tidak ada regulasi, yang sangat diperlukan untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi itu," papar Sigit dalam diskusi virtual yang digelar Indonesia Corruption Watch, Minggu (2/5).
Terhitung hampir dua tahun setelah disahkan, legislasi dan struktur kelembagaan KPK justru semakin lemah. Selain itu menurut Sigit, sumber daya manusia di lembaga antirasuah pun tak lagi kuat seperti sebelumnya.
Ia juga menilai revisi UU KPK justru bakal mendatangkan investor yang tak berkualitas bagi Indonesia. Sebab menurut Sigit, korporasi global dengan tata kelola yang baik adalah mereka yang peduli pada pembangunan berkelanjutan, perlindungan HAM, ekosistem lingkungan dan memiliki ketegasan penindakan korupsi.
Dengan revisi UU KPK, boleh jadi investor yang masuk malah yang berkebalikan dari itu.
"Yang masuk adalah investor korporasi yang bisa bermain dan menikmati iklim di mana korupsi, kolusi dan pola-pola ekstraksi terhadap sumberdaya alam dan sumber daya yang ada," jelas Sigit.
"Kita akan mewariskan bangsa ini ke dalam situasi merosot dan mungkin tidak mendapatkan tempat di masyarakat global," tukas dia lagi.
 Infografis Isu Krusial dan Sikap Jokowi soal Revisi UU KPK. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Lanjutkan baca ke halaman berikutnya..
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menilai kondisi korupsi di Indonesia sudah sampai tingkat yang gawat.
Pasalnya, KPK yang menggawangi pemberantasan korupsi kini tengah dilanda krisis integritas dan demoralisasi. Sehingga, lembaga yang seharusnya menangani korupsi tersebut justru sulit memainkan peran yang efektif dalam pemberantasan kasus rasuah.
Tercorengnya integritas KPK tersebut ditunjukkan di antaranya temuan kasus pencurian barang bukti emas oleh pegawai KPK, kasus dugaan pengaturan perkara oleh penyidik, hingga indikasi bocornya informasi soal operasi KPK.
"Soal demoralisasi, pegawai KPK dijadikan ASN dan itu menjadi masalah. Karena itu, staf yang punya integritas melihat perubahan status itu dan, juga apa yang terjadi dalam seleksi komisioner dan perubahan yang terjadi dalam UU membuat mereka kehilangan harapan terhadap KPK," tutur Azyumardi.
Menurut Azyumardi, satu-satunya cara membenahi KPK adalah dengan membatalkan revisi UU KPK. Sebab dengan begitu, KPK diyakini bakal menjadi lebih kuat secara kelembagaan serta lebih solid.
Dalam hal ini, lanjut Azyumardi, hakim MK juga harus mendengarkan pendapat para guru besar di Indonesia terkait pembatalan UU tersebut. Hakim konstitusi saat ini menjadi satu-satunya harapan untuk perbaikan pemberantasan korupsi.
Sebab, para guru besar itu tak mungkin lagi bisa berharap pada Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) pembatalan revisi UU KPK.
"Saya sudah berkali-kali meminta [Presiden Jokowi] agar dikeluarkan Perppu membatalkan UU hasil revisi itu. Saya ingat, hadir di antara 52 orang yang menghadap Jokowi ke istana. Saya minta Pak Jokowi mengeluarkan Perppu," cerita cendekiawan muslim tersebut.
"Waktu itu, dia bilang, dia mempertimbangkan secara serius untuk menerbitkan Perppu. Hasilnya, Alhamdulillah Perppu tidak ada," lanjut Azyumardi lagi menyentil.
Sebelumnya, 62 guru besar mengirimkan surat ke MK agar segera membatalkan revisi UU KPK. Dua di antaranya adalah Sigit Riyanto dan Azyumardi Azra. Dalam surat tersebut, para guru besar menilai banyak permasalahan muncul setelah penerbitan Revisi UU KPK. Selain itu, undang-undang tersebut juga dinilai melemahkan KPK.
 Infografis Indeks Persepsi Korupsi era Jokowi. (CNN Indonesia/Timothy Loen) |