Penularan virus corona (Covid-19) selalu mengalami tren kenaikan setiap kali masyarakat ramai melakukan perjalanan karena momen libur panjang, baik Idul Fitri maupun hari besar lainnya.
Oleh karena itu, pada momen lebaran Idul Fitri 1442 hijriah/2021 ini pemerintah pusat RI memberlakukan lagi kebijakan larangan mudik. Kebijakan itu berlangsung 6-17 Mei 2021.
Pada hari pertama pelaksanaan, Kamis (6/5), Mabes Polri menyatakan lebih dari 23 ribu kendaraan diputar balik dari posko penyekatan berbagai wilayah dari Sumatera hingga Bali. Jumlah tersebut terdiri dari 12.267 pengendara mobil, 7.352 kendaraan roda dua atau sepeda motor, 2.148 mobil berpenumpang, dan 1.768 kendaraan barang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah memprediksi sebanyak 18,9 juta orang akan melakukan mudik meski telah dilarang pemerintah pada 29 April lalu.
Di satu sisi, risiko penularan Covid-19 sendiri ditambah dengan terkuaknya telah keberadaan pasien dengan kasus mutasi-mutasi baru virus corona dari negara lain.
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan mobilitas masyarakat dalam jumlah besar pada masa lebaran ini memungkinkan penularan varian baru virus Corona semakin luas.
Menurut Pandu, jika 80 persen dari virus yang tersebar merupakan varian baru akan terjadi kekacauan. Sebab, belajar dari negara lain--salah satunya India--, lonjakan kasus pada gelombang kedua disebabkan oleh varian baru virus Corona.
"80 persen kan perkiraan ekstrem saya. Sudah di atas 40 persen, 50 persen cukup untuk menularkan ke banyak orang," kata Pandu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (5/5).
Di satu sisi, ia sendiri masih melihat larangan mudik oleh pemerintah hanya bentuk keseolah-olahan saja atau masih setengah hati. Sebab, menurutnya, pemerintah sebenarnya telah mengetahui bahwa masyarakat tidak bisa dicegah melakukan mudik.
Semestinya, kata Pandu, masyarakat yang melakukan mudik dibatasi. Mereka mesti didaftar dan difasilitasi sehingga bisa melakukan mudik dengan aman.
Pandu memandang lonjakan kasus Covid-19 tidak disebabkan mudik, melainkan interaksi antar masyarakat, baik melalui silaturahmi maupun bentuk mobilitas lainnya.
"Makanya mudiknya diatur supaya interaksi antarmanusianya bisa diatur. Banyak caranya," ujar Pandu.
Menurutnya, pemerintah mengetahui dan bisa melakukan cara tersebut, namun yang terlihat selama ini juga tak serius dalam menangani pandemi.
"[Pemerintah] ini kan selalu mendua, pemulihan ekonomi. Orang enggak boleh mudik tapi datang ke kotaku boleh, berwisata boleh. Semuanya kan seperti kontradiksi," protesnya.
"Dia juga pengin kelihatannya melarang. Kalau sudah melarang, masyarakatnya enggak patuh nanti bisa nyalahin masyarakatnya. Pemerintahnya nggak mau disalahin," tambah Pandu.
Bagaimana Satgas Covid-19 mempersiapkan antisipasi risiko ada di halaman selanjutnya.