Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah pihak menilai janggal sederet pertanyaan dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Soal-soal tes banyak bertanya soal radikalisme hingga LGBT, alih-alih bertanya terkait materi kebangsaan.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai sejumlah pertanyaan dalam TWK irasional. Menurut dia, materi pertanyaan yang diajukan justru jauh dari kerja-kerja antikorupsi.
Dia pun mempertanyakan dalih KPK menyelenggarakan TWK dan menggandeng sejumlah pihak seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), maupun TNI ikut dalam proses seleksi alih status pegawai lembaga antirasuah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia, pelaksanaan TWK yang tidak diatur dalam revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, seolah mengesankan KPK larut dalam wacana paham radikal--yang diparafrasakan jadi Taliban--yang selama ini berkembang di tengah publik.
ICW, kata Kurnia, mengaku telah lama bersinggungan dengan orang-orang dalam KPK, dan meyakini tak ada paham-paham radikal yang berkembang di internal lembaga antirasuah.
"Kalau sebagian pihak mengonfirmasi hal tersebut sehingga membuat TWK, berarti mereka larut akan distorsi informasi," kata Kurnia kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/5).
Menurut Kurnia, pihak yang selama ini dituding sebagai Taliban, justru adalah orang-orang yang banyak terlibat dalam mengungkap kasus-kasus korupsi kelas kakap. Boleh jadi, menurut Kurnia, mereka yang banyak terlibat penanganan kasus korupsi itu kemudian 'disingkirkan' dengan dalih gagal tes wawasan kebangsaan.
Tes wawasan kebangsaan sendiri dilakukan KPK untuk alih status jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan Perkom Nomor 1 Tahun 2021.
Alih status ASN itu sendiri merupakan amanat UU 19/2019--yang juga sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi. MK sendiri memutuskan beleid mengenai alih status jadi ASN tetap konstitusional, namun tidak boleh merugikan pegawai KPK saat ini, dan di luar desain yang ditentukan dalam ketentuan peralihan UU 19/2019.
Deret Pertanyaan TWK Janggal untuk Wawasan Kebangsaan
Kurnia mengatakan dari hasil perbincangan dan pendalaman pihaknya, diketahui pertanyaan-pertanyaan dalam TWK itu cukup janggal untuk mendalami wawasan kebangsaan seseorang, terutama di lingkup KPK.
Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudi Purnomo misalnya, heran saat ditanya apakah ia mengucapkan selamat hari raya ke agama lain dalam tes wawancara. Menurut dia, pewawancara mestinya telah mendapat informasi bahwa mengucapkan selamat hari raya ke sesama rekan di KPK adalah hal biasa. Apalagi, Yudi bukan saja mengucapkan selamat hari raya, ia bahkan hadir memberi sambutan sebagai Ketua WP KPK dalam perayaan Natal di kantor.
WP KPK sendiri adalah wadah resmi yang juga kelahirannya diatur lewat PP 63/2005 tentang Sistem Manajemen SDM Komisi Pemberantasan Korupsi.
Seorang sumber lain yang ikut dalam TWK, mengungkap materi dalam tes tersebut. Peserta TWK misalnya diajukan pertanyaan terkait: Semua orang Cina sama saja, hak kaum homosex harus tetap dipenuhi, UU ITE mengancam kebebasan berpendapat, hingga Nurdin M Top, Imam Samudera, Amrozi melakukan jihad.
Selain berbentuk pernyataan, soal TWK juga mengajukan soal esai terkait Rizieq Shihab, organisasi masyarakat yang telah dilarang pemerintah, hingga seputar Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT).
Kemudian, terbaru penyidik senior KPK Novel Baswedan yang disebut termasuk salah satu dari 75 yang tak lolos TWK memaparkan tiga pertanyaan yang janggal serta jawaban yang diberikan olehnya. Tiga pertanyaan itu adalah terkait kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), intervensi agar tak memanggil saksi, dan kebijakan pemerintah yang merugikan dia.
Novel pun menjawab tiga contoh soal itu dengan jawaban-jawaban dalam koridor upaya penegakan hukum untuk memberantas korupsi di Indonesia.
Adapun, terkait materi-materi pertanyaan janggal lainnya tersebut, Kurnia menilainya tidak relevan dan telah jauh memasuki ruang privat. Menurut dia pertanyaan-pertanyaan itu tak berhubungan dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Dan terbukti, materi dalam TWK belakangan memancing kritik dari sejumlah pihak.
"Kami meyakini konsep TWK didesain sejak awal untuk menyingkirkan penggawa-penggawa KPK," katanya.
Terpisah, Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menilai, pelaksanaan TWK sebagai penentu dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN, bertentangan dengan UU Nomor 19/2019 tentang KPK.
Ia mengatakan pelaksanaan TWK atau asesmen secara rinci hanya diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Bab 3 tentang Mekanisme Pengalihan dan Penyesuaian, pasal 5 ayat 4 menjelaskan bahwa setiap pegawai KPK harus mengikuti TWK sebagai syarat menjadi ASN.
Padahal, kata Zaenur, TWK tak diatur dalam UU 19/2019 sebagai dasar alih status.
Ia mengingatkan pada Pasal 69B UU bahkan hanya menyebutkan, pegawai KPK yang belum berstatus ASN dua tahun sejak UU diundangkan dapat diangkat menjadi ASN jika lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan.
Zaenur tak mempersoalkan pelaksanaan TWK sepanjang tak menjadi penentu kelulusan dan dalih penjegalan. Menurut dia, wajar bila Perkom 1/2021 mengatur lebih rinci soal alih status pegawai KPK menjadi ASN. Begitu pula dengan pelibatan sejumlah lembaga seperti BIN, BNPT, maupun TNI dalam tes.
"Kalau untuk menentukan kelulusan ya itu bertentangan dengan UU 19 Tahun 2019 juga bertentangan dengan putusan MK, karena merugikan pegawai KPK," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Selasa.
Menurut Zaenur, KPK menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terkait 75 pegawai yang tak lulus TWK dan kini terancam untuk didepak. Ia pun menegaskan kekisruhan saat ini tidak akan muncul jika KPK tak menyelenggarakan TWK. Pasalnya, tegasnya lagi, UU 19/2019 tak mengatur TWK di KPK, kecuali hanya proses alih status.
Menurut Zaenur, yang bisa dilakukan KPK saat ini adalah membatalkan hasil tes sebagai syarat penentu kelulusan. Ia meminta agar hasil asesmen hanya dijadikan evaluasi pegawai dan media pendidikan, bukan sarana penentu kelulusan. Sebab, mereka yang dinyatakan tak lulus telah banyak berkontribusi dalam penanganan kasus korupsi.
"Menurut saya harus dimintakan pertanggungjawaban dari kekisruhan tes ini yang paling utama adalah KPK sendiri," kata dia.
"Orang bisa diganti benar. Tapi penggantian secara zalim seperti ini bukan mencerminkan nilai-nilai integritas di KPK," imbuhnya.
Sementara itu, KPK sendiri diketahui akan melantik dan memberikan SK pengangkatan jadi ASN itu bagi para pegawai yang lolos TWK pada 1 Juni mendatang.
"Pertek [Peraturan Teknis] NIP dari BKN, SK dari KPK. Dilantik 1 Juni," ujar kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana, melalui pesan tertulis, Senin (10/5).
Disebutkan, KPK telah menerima hasil asesmen TWK pegawai dari BKN pada 27 April 2021. Penyerahan hasil tes tersebut dilakukan di kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB).
Sebelumnya, BKN juga telah memberikan penjelasan umum terkait TWK terhadap 1.351 pegawai KPK dalam rangka alih status jadi ASN itu.
Dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (8/5), Plt Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama BKN Paryono menjelaskan dalam melaksanakan asesmen TWK KPK digunakan metode Assessment Center yang juga dikenal sebagai multimetode dan multiasesor.
Ia menjelaskan, multimetode berarti asesmen dilakukan dengan menggunakan beberapa alat ukur yaitu tes tertulis Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas (IMB68), penilaian rekam jejak (profiling), dan wawancara.
Sedangkan multiasesor yaitu asesor yang dilibatkan tidak hanya berasal dari BKN, namun melibatkan asesor dari instansi lain yang telah memiliki pengalaman dan yang selama ini bekerja sama dengan BKN dalam mengembangkan alat ukur tes wawasan kebangsaan.
"Seperti Dinas Psikologi TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BAIS dan Pusat Intelijen TNI AD," ucapnya.
Ia menyebut, TWK untuk KPK mencakup 3 aspek yaitu integritas, netralitas ASN dan antiradikalisme. Hal tersebut mengacu pada Pasal 3, 4 dan 5, UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 3, PP No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.
Firli sebelumnya pernah menyatakan belum mengetahui ada pertanyaan bernada melecehkan yang diduga diterima oleh pegawainya dalam pelaksanaan asesmen TWK. Ia menegaskan pertanyaan tersebut bukan berasal dari lembaganya.
"Sewaktu konferensi pers sudah disampaikan bahwa TWK dilaksanakan oleh BKN bersama tim. Saya pun sudah menjelaskan bahwa materi tes bukan ranah KPK. Saya kan tidak ikut tes jadi saya tentu tidak bisa memberi penjelasan terkait materi tes," kata Firli saat dikonfirmasi lewat keterangan tertulis, Jumat (7/5).
Dalam asesmen TWK ini, KPK diketahui bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Adapun BKN melibatkan lima instansi dalam pelaksanaan tes. Yakni Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Pl. Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri sementara menyatakan Perkom turunan dari UU dan Perppu yang secara teknis mengatur bahwa untuk mengukur aspek setia pada Pancasila, UUD, NKRI dan pemerintah yang sah dilakukan dengan tes wawasan kebangsaan.
"Dalam perspektif KPK tentu tidak ada yang keliru," ujar Ali kepada CNNIndonesia.com.
Ali mengatakan ketentuan TWK tersebut Perkom telah dikoordinasikan sebelumnya dengan BKN. Pelaksanaan TWK sepenuhnya diselenggarakan oleh BKN bekerjasama dengan pihak-pihak terkait lainnya.