Rindu Jemaat Ahmadiyah, 15 Kali Lebaran di Pengungsian
Tahun 2006 adalah kali terakhir bagi Ibah dan ratusan orang Jemaat Ahmadiyah merayakan Idulfitri di rumah masing-masih di Ketapang, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Pada sekitar 15 tahun silam itu, rumah mereka diserang dan dihancurkan sekelompok orang yang tidak terima dengan perbedaan keyakinan jemaat Ahmadiyah.
Setelah rumah mereka rata tanah, Ibah dan ratusan warga Ahmadiyah dipaksa meninggalkan Ketapang. Mereka akhirnya mengungsi di Wisma Transito milik Kementerian Transmigrasi di Mataram, Pulau Lombok, NTB.
Saat awal-awal pindah ke sana, kata Ibah, fasilitas untuk pengungsi disediakan seadanya. Setiap keluarga diberi sepetak ruangan dengan sekat berupa spanduk.
Rata-rata luas ruangan untuk satu keluarga adalah 8x4 meter. Setiap keluarga bebas untuk membuat sekat-sekat menyesuaikan kebutuhan.
Ibah mempunyai dua kamar dalam ruangan itu untuk ia tinggali bersama kakak dan kedua orang tuanya.
Tahun 2013 sekat tersebut diganti dengan kain. Kemudian pada 2015, kain beralih rupa jadi tripleks sebagai penanda batas dari ruangan satu ke ruang lain.
Ibah mengaku senang dengan perubahan-perubahan di Transito. Paling tidak, tempat tinggalnya kini terasa lebih privat dengan tripleks.
Selain juga, ia sudah bisa tidur di kasur, tak lagi di atas kardus atau kain seperti sebelumnya.
Hidup di pengungsian belasan tahun membuatnya terbiasa untuk bisa tidur dalam kondisi apapun. Meski, bayangan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak selalu ada.
Saat ini kamar tempat dia tidur itu sudah diberi alas. Sepasang mukena berwarna putih menyampai di sekat-sekat ruangan. Di bawahnya tergeletak peci. Di sampingnya, ada meja lipat yang menyangga satu kitab suci Al-Quran.
"Kalau alas tidur, udah anu lah, udah mendingan, udah pakai kasur juga," tutur Ibah.
Ada sekitar 120 orang jemaat Ahmadiyah termasuk Ibah yang tinggal di sana. Bantuan dari pemerintah memang sesekali datang. Tapi itu pun hanya untuk orang-orang tertentu saja, seperti lansia.
Ia dan ratusan orang lainnya lebih banyak berjuang sendiri untuk mengupayakan kehidupan yang lebih layak di Wisma Transito.
Ibah bercerita, para pengungsi bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Kata dia, kebanyakan yang laki-laki bekerja sebagai sopir ojek online. Sedangkan perempuan, lebih banyak berdagang di pasar.
Dari uang tersebut, mereka banyak menyisihkan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, dari sandang sampai pangan.
Ibah tak tahu akan sampai kapan akan tinggal di pengungsian. Jadi, ia hanya bisa berupaya terus membuat dirinya nyaman selama tinggal di Wisma Transito.
Lanjut baca ke halaman berikutnya ...