Jakarta, CNN Indonesia --
"Duar.. Duar..,"
Sekilas suara itu mirip dengan kompor meleduk atau tembakan yang dilepaskan dari senjata api tak jauh dari tempat Fajri berdiri. Bunyi itu selalu datang tanpa aba-aba, membuat jantung seperti mau copot.
Kalau ini hari-hari lain, mungkin Fajri sudah kelabakan mencari sumber suara dan bergegas menelpon aparat keamanan, kalau-kalau ada perkelahian atau kecelakaan di daerah setempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi suara itu jadi tidak mengerikan, karena ia sudah menanti ramainya bunyi ledakan yang rutin bergema setidaknya setahun sekali.
Di balik jendela lantai dua gedung Puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, Fajri menyaksikan segerombolan bocah saling lempar petasan.
Mulanya anak-anak itu terlihat hanya main-main. Namun lama-lama "perang" itu jadi makin mencekam. Gerombolan bocah berganti pemuda beringas yang saling lempar umpatan.
Beberapa di antara mereka memegang senjata tajam. Fajri tak habis pikir, malam takbiran menanti Hari Raya Idulfitri malah dihabiskan dengan aksi tawuran.
Dan benar saja, tawuran itu membawa petaka. Sejumlah pemuda yang luka-luka seusai pamer kegagahan diboyong ke Puskesmas. Sebagai dokter yang sedang tugas berjaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Fajri bergegas melayani mereka.
Korban luka-luka karena tawuran, luka bakar terkena petasan, hingga kecelakaan merupakan pasien yang paling sering didapati Fajri setiap berjaga di waktu Lebaran.
Ia menduga probabilitas kecelakaan--baik dengan kendaraan atau karena terjatuh hingga terbakar petasan--meningkat karena banyak orang berkumpul merayakan Idulfitri.
Namun kasus-kasus seperti itu berkurang semenjak pandemi Covid-19 melanda. Kejadian itu ia alami beberapa tahun lalu.
Sedangkan untuk dua tahun belakangan, kekhawatiran akan penularan virus corona sepertinya berhasil menekan aktivitas kumpul-kumpul pada malam takbiran maupun saat hari raya.
Sayangnya, itu bukan berarti pasien yang diterima Fajri di Puskesmas menurun drastis. Semenjak pandemi, dia justru sering mendapati kasus penyakit kronis yang telat ditangani dan berakhir meninggal dunia.
"Apa karena puasa dan lebaran, lalu makannya berlebihan. Jadi orang-orang yang sakit kronis ini banyak yang [keadaannya] buruk. Kemarin banyak yang stroke lalu meninggal," cerita Fajri ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (7/5).
"Kayaknya gara-gara, pertama pandemi. Jadi mereka takut berobat. Kedua, mereka juga nggak kontrol makannya. Jadi datang dalam kondisi sudah buruk," tambah dia.
Kasus-kasus seperti ini membuatnya prihatin. Pada hari yang seharusnya dihabiskan bercengkrama dengan keluarga, keluarga pasiennya justru harus berduka.
Lanjut baca ke halaman berikutnya ...
Fajri sendiri setidaknya sudah tiga tahun ini tidak bisa merasakan hangatnya lebaran bersama keluarga pada hari pertama Idulfitri. Karena keterbatasan sumber daya manusia di Puskesmas, dia harus rela berjaga di hari raya.
Puskesmas tempat Fajri bekerja hanya punya tujuh dokter. Satu kali sif, dua dokter sekaligus harus berjaga. Artinya setiap dokter yang bertugas di IGD punya kesempatan besar dapat giliran jaga selama lebaran hari pertama atau kedua.
Kalau sedang jaga malam dan ramai pasien, terkadang Fajri terpaksa harus meninggalkan Salat Idulfitri. Kegiatan sungkeman dan silaturahmi pun harus ditunda sampai hari kedua atau ketiga lebaran.
Meski begitu, Fajri memahami tanggung jawab atas profesinya. Lagi pula, menurutnya kehangatan lebaran juga terasa hingga ke dalam gedung puskesmas di hari lebaran.
"Senangnya lagi, kalau lebaran ada yang kasih makanan. Teman atau orang luar kasih kue, kasih opor. Ini bukan masalah nominalnya. Tapi orang empati. Itu juga menyentuh banget kita sebagai nakes (tenaga kesehatan), itu jadi power tersendiri," tuturnya.
Sama halnya yang dirasakan Rahmat, perawat di salah satu rumah sakit di Jakarta. Meskipun sudah beberapa tahun tak bisa mudik dan merayakan hari raya bersama keluarga, ia masih bisa merasakan kehangatan Idulfitri bersama rekan nakes lainnya.
Sudah beberapa tahun ini Rahmat tidak pulang ke Bengkulu--kampung halamannya--karena kedapatan sif jaga ruang isolasi Covid-19 pada hari lebaran. Ketika akhirnya dapat giliran untuk cuti lebaran, Indonesia dilanda pandemi sehingga niatnya pulang kampung gagal lagi.
Tahun lalu, lebaran hari pertama ia habiskan dengan bekerja. Merawat pasien Covid-19 yang juga harus menjalankan hari raya tanpa keluarga. Silaturahmi hanya sebatas saling tukar ucapan maaf melalui konferensi video.
 Rahmat (kiri), perawat rumah sakit di wilayah Jakarta. (Arsip Pribadi) |
"Ini semua untuk kebaikan orang-orang di rumah juga. Agar nggak menularkan ke keluarga. Jadi lebaran kali ini di rumah sakit dulu ya," tutur Rahmat memberikan semangat kepada pasien-pasiennya.
Sama halnya dengan pasien Covid-19, Rahmat juga hanya bisa sungkeman virtual dengan orang tua dan keluarga. Rasa rindu menghabiskan waktu berkumpul dengan sanak famili saat hari raya tiba, tak bisa ia pungkiri.
Rekan sejawat lah yang kemudian menjadi penyemangat kala rindu itu menghampiri. Di tengah larangan mudik dan bahaya pandemi, Rahmat dan rekan nakes lainnya berupaya mengisi kekosongan lebaran dengan membuat perayaan kecil-kecilan di hotel tempat mereka diinapkan selama menangani kasus Covid-19.
Suasana lebaran di penginapan dengan rekan kerja memang kalah jauh jika dibandingkan momen hari raya bersama keluarga. Tahun lalu, Rahmat bahkan terpaksa Salat Idulfitri sendiri di kamar. Ceramah setelah salat ia dengarkan secara virtual.
Namun setidaknya, hari raya Rahmat masih diisi dengan opor ayam, ketupat dan canda gurau bersama rekan nakes lainnya. Hari-hari lebaran di tengah pandemi pun tak semuram yang ia bayangkan.