Runtuhnya rezim Orde Baru yang lekat dengan kekerasan dan premanisme tidak membuat dua masalah itu berkurang. Sebaliknya, kekerasan semakin marak. Geng-geng baru menjamur dan saling berebut wilayah di Jakarta.
Ketiadaan kendali penuh atas preman dan aturan harus loyal kepada ideologi negara sebagaimana masa Soeharto membuat organisasi preman baru bermunculan.
Jika sebelumnya ormas-ormas menggunakan label legitimasi Pancasila dan nasionalisme dalam melakukan operasi jatah premannya, pasca reformasi organisasi preman membawa legitimasi lokalitas, etnis, hingga agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemuda Pancasila yang mendominasi sepanjang 1980-an dan awal 1990-an, kini berada dalam persaingan langsung dengan formasi-formasi baru yang secara perlahan mulai merangkak lain di jalanan Jakarta," tulis Ian.
FBR jadi salah satu yang bersaing memperebutkan pengaruh di Jakarta pasca Orde Baru. Organisasi secara cepat menjadi yang terbesar di Jakarta.
Lewat sambungan telepon, Ian mengatakan premanisme di Jakarta menarik karena kerap berkaitan dengan politik Ibu Kota. Politik di kawasan pusat pemerintahan ini, kata Ian, berpengaruh secara nasional.
"Bagi saya menarik kelompok seperti itu berkembang dari asal usul, emang jagoan di jalan tapi menjadi macem gerakan sosial yang tidak bisa disamakan dengan premanisme saja," ujar Ian kepada CNNIndonesia.com.
Menurut Ian, organisasi preman yang bermunculan di Jakarta juga lambat laun berkembang menjadi gerakan sosial seperti FBR ataupun gerakan keagamaan seperti FPI yang belakangan dibubarkan pemerintah.
Dengan perubahan wajah tersebut organisasi itu tak lagi sepenuhnya dapat dikatakan organisasi preman. Namun juga tak bisa dilepaskan dari sebutan organisasi preman karena praktik-praktiknya yang masih menggunakan cara kekerasan.
Ian berkesempatan melakukan wawancara dengan mantan Ketua FBR (alm) Fadloli el Muhir. Wawancaranya dengan pentolann FBR itu sedikit banyak berhasil memotret perubahan wajah premanisme di Jakarta.
Temuan Ian, berdirinya FBR lahir dari pengamatan kritis terhadap perkembangan ekonomi dan politik warga Betawi. Organisasi ini berusaha merepresentasikan diri sebagai wadah bagi kelompok yang tersisih.
Pembangunan Orde Baru menurut FBR, tidak menguntungkan orang Betawi. Bahkan kelompok ini tersingkir di tanah mereka sendiri.
"FBR mengklaim bahwa mereka merupakan korban tersia-sia dari apa yang disebut oleh pendiri kelompok itu sebagai 'preman berdasi', yakni mereka yang 'memakai dasi, preman berseragam, mereka yang ada di eksekutif dan legislatif, di kepolisian dan ketentaraan'," tulis Ian dalam bukunya.
Orde Baru sudah jatuh. Usia Jakarta pun hampir menginjak 5 abad. Namun, premanisme di ibu kota tak kunjung surut.
Dengan wajah meminjam gerakan sosial, toh polanya relatif tak berbeda jauh dengan apa yang pernah terjadi pada masa kemerdekaan, yakni para preman atau orang-orang yang mengkoordinir mereka menawarkan jasa kekerasan.
FBR yang berdiri berdasarkan pengamatan kritis, misalnya, pada akhirnya menjalin persekutuan dengan elite dan partai politik agar pengaruh mereka semakin kuat. Dalam beberapa kasus, agar mendapatkan posisi struktural dalam pemerintah.
Mereka juga tercatat pernah menyerang Urban Poor Consortium (UPC) kelompok advokasi pro kaum miskin kota saat melakukan demonstrasi mengkritik kebijakan ruang publik di Balai Kota DKI.
Baik laki-laki, perempuan, anak-anak dihajar, bahkan Wardah (Ketua UPC) diancam golok di lehernya.
Yang terbaru, dalam penggusuran kawasan Gang Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Warga yang telah tinggal di tempat itu selama puluhan tahun atas seizin pemilik lahan diserang oleh ormas PP pada Maret lalu.
Dalam serangan itu tidak sedikit warga setempat mengalami luka akibat lemparan benda tumpul dan senjata rakitan. Padahal, tanah tersebut dalam proses sengketa antara ahli waris pemilik lahan Sanjoto dengan anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Pertamina.
(wis/iam/asa)