Jakarta, CNN Indonesia --
Musli duduk terlunta di sekitaran Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (8/7) sore. Tepat di depannya, terparkir gerobak sampah yang menjadi tempat tinggalnya selama ini.
Bukan tanpa sebab dia hidup di gerobak, pria 68 tahun itu tak memiliki rumah untuk berpijak. Musli baru selesai berkeliling mencari sampah, begitu kira-kira caranya bertahan hidup selama ini. Meski pandemi, situasi tetap mengharuskan dirinya hidup tanpa tinggal di bawah atap.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat yang dimulai sejak 3 Juli lalu pun tak membuatnya membatasi mobilitas di ibu kota. Pasalnya, Musli akan kesulitan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari jika tak pergi bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan aktivitasnya Musli jadi warga yang rentan tertular Covid. Namun perhatian terhadap tunawisma seperti Musli tak sebesar perhatian kepada masyarakat lain.
Sejak dulu, Musli tak pernah merasakan tes Covid-19, baik itu secara rapid tes, swab antigen, RT-PCR, ataupun GeNose.
Ayah dari 10 orang anak ini menduga, dirinya tak terjaring karena tidak memiliki kartu identitas.
"Tidak pernah (dites Covid), enggak ikut saya. Saya kan enggak punya identitas, saya minder sendiri," ucap Musli saat berbincang dengan CNNIndonesia.com tepat di depan Taman Proklamasi.
Dia menceritakan bahwa kartu identitasnya telah hilang beberapa tahun lalu. Kala itu, dia menaruh segala kepunyaannya di gerobak miliknya.
Namun barang tersebut raib dicuri orang tak dikenal. Tak hanya sekali, empat kali total gerobaknya telah dicuri orang. Hal itu yang kemudian membuatnya kini tak memiliki tanda pengenal lagi.
Musli kebingungan apakah dirinya dapat menerima fasilitas-fasilitas negara yang diperuntukkan dalam penanganan Covid-19 jika tak punya identitas.
Termasuk mendapatkan vaksin Covid-19 yang tengah digencarkan oleh pemerintah untuk menciptakan kekebalan komunal (herd immunity). Musli mengaku sebenarnya ingin mendapat vaksin.
"Ya sebetulnya pengen sih, cuma bagaimana. Tapi kalau bisa sih masih sehat saja sekarang," kata dia tersenyum tipis.
Musli tak begitu memahami seberapa bahaya virus ini. Namun dia tahu wabah memang ada dan mengancam.
"Kalau saya nggak pernah ngerti begituan, cuma yang jelas saya lihat di Hotel Mega (Proklamasi) ini banyak orang menampung di sini. Makanya saya tahu, saya tahunya begitu doang," ucap Musli sembari menunjuk ke arah hotel yang dimaksud.
"Biasanya kan kosong, sekarang diisi orangnya kok banyak. Makin hari tambah-tambah," cetusnya lagi.
Kondisi kesehatan Musli pun naik turun. Dia beberapa kali sering merasa lemas hingga memaksanya terbaring di gerobak. Namun, tanpa akses ke fasilitas kesehatan, dia juga tak tahu apakah dirinya tertular atau tidak. Sementara pemerintah sibuk menggemborkan bahaya orang-orang positif yang tidak bergejala alias OTG.
Hanya berbekal keyakinan Musli optimis dirinya hanya kelelahan dan tak terjangkit virus yang telah menjadi pandemi di dunia ini.
"Banyak perubahan dari tubuh saya. Cuma saya pikir penyakit biasa, capek doang," ujarnya menutup perbincangan.
Apa yang dialamiMusli juga dialami para tunawisma lain. Setidaknya di ibu kota Jakarta. Baru-baru ini petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kecamatan Cempaka Putih, Jakarta mengevakuasi seorang perempuan tunawisma di sebuah jembatan penyeberangan orang (JPO).Perempuan itu diduga terpapar Covid-19.
Informasi itu diunggah di akun Twitter @satpolPP_Jakpus. Dari keterangan di cuitan tersebut, perempuan tunawisma itu ditemukan pada Rabu malam (7/7) pukul 22.42 WIB.
"Satpol PP Kecamatan Cempaka Putih melaksanakan evakuasi kepada seorang ibu tunawisma yang diduga tertular Covid-19 setelah dilakukan pemeriksaan antigen dan langsung dirujuk ke RS Wisma Atlet Kemayoran," demikian cuitan tersebut, sebagaimana dikutip Kamis (8/7).
Berlanjut ke halaman berikutnya....
Sementara di sudut lain ibu kota, Andri Heriyono, juga merasakan bagaimana pandemi Covid-19 berdampak bagi kehidupannya. Dia kini menjadi tunawisma karena pandemi.
Andri menyebut dirinya merupakan korban dari keganasan Covid. Di samping gerobaknya yang penuh tumpukan sampah, Andri bercerita bahwa pandemi menghancurkan pekerjaannya.
Dulu dirinya tinggal di kos-kosan di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dengan senyum lebar dan mengacungkan jempol, Andri mengatakan dirinya sukses menjadi seorang pekerja bangunan dan menggarap banyak proyek.
"Kami masih ikut teman saya dulu, ngeborong. Jadi masih ikut, begitu corona datang, di-lockdown ditutup proyek itu," cerita Andri saat bertemu CNNIndonesia.com.
Saat virus ini pertama kali masuk ke Indonesia pada Maret 2020, dia bilang masih sempat menggarap beberapa proyek bangunan. Pekerjaannya dulu pun membuat dirinya harus banyak berpindah ke kota-kota penyangga DKI menggunakan KRL.
Pria berusia 65 tahun ini bercerita, sempat dites Covid saat dulu menaiki KRL Commuter Line. Beruntung, dirinya tak positif. Hanya saja, itu menjadi kali pertama dan terakhir dirinya berurusan dengan alat klinis pengujian Covid.
"Dulu pernah (dites Covid). Yang dicolok-colok di hidung. Terus apa itu, di mulut juga kan. Dulu waktu masih ada kerjaan, mau pergi ke Bogor, atau ke mana gitu," cetusnya.
Sejak proyek tutup, ia pun kehilangan penghasilan. Andri tak mampu membayar tempat tinggal dan menjadi tunawisma. Ia juga mengaku tak pernah berurusan lagi dengan segala urusan soal tes Covid.
Jangankan untuk tes Covid dan perlindungan vaksin, Andri mengeluhkan kesehariannya yang sulit mendapat makan. Pemerintah pun, kata dia, tak pernah memperlihatkan uluran tangannya.
"Seharusnya itu pemulung dapat (bantuan sosial), jangan fakir miskin saja. Padahal pemulung itu kan lebih-lebih dari orang miskin. Kami rumah nggak punya, istilahnya gitu ya. Kami udah orang teraniaya, orang terlunta-lunta. Nggak pernah dapat sapaan apapun dari pemerintah," kata dia.
Dia merasa selama ini justru dimusuhi oleh aparat pemerintah. Keluh kesahnya banyak tertuju pada Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Andri mengatakan, sikap kasar dari aparat Satpol PP itu seringkali merugikan dirinya. Misalnya, di tengah jalan jika bertemu aparat dia seringkali diusir padahal hanya sedang duduk.
Jika tidak, mereka akan bertindak dengan keras hingga mengambil gerobak miliknya.
"Hidup di jalanan gini ya istilahnya kita itu harus patuh sama Pol PP, cuma kadang-kadang Pol PP ini yang terlalu ambisius gitu untuk melakukan giat tugas itu," ucapnya.
"Kalau di jalan misalnya kita dikejar-kejar, kadang kita kan berhenti gini 'Pak, jalan'. Kita kan kadang-kadang capek berhenti gitu kan, memang itu benar sih. Takutnya nanti ada Bu Risma (mensos) lewat," tambahnya lagi.
Pria kelahiran Blitar, Jawa Timur ini pun berharap pandemi Covid segera berakhir. Dia mau segera kembali ke kampung halamannya untuk membuka usaha.
Dirinya mengaku sudah sulit bertahan di Jakarta namun lebih sulit lagi untuk kembali ke kampung halaman. Pasalnya, orang-orang di kampungnya tak menerima pendatang selama masa Covid-19 ini.
Andri pun rela mengikuti setiap kebijakan pemerintah untuk menangani pandemi. Termasuk soal vaksin.
"Sebetulnya pengen juga. Cuma caranya bagaimana kalau divaksin. Saya gak tahu caranya gimana," ceritanya sambil memilah-milah tumpukan sampah di atas gerobaknya.
Dia merasa vaksin penting untuk menangani pandemi sekarang ini. Belum lagi, keinginannya agar pandemi segera berlalu membuat dirinya sangat antusias menerima suntikan vaksin.
Hanya saja, Andri kesulitan lantaran tak pernah mendapat akses dari pemerintah untuk memperoleh fasilitas vaksin tersebut.
Dinas Sosial, hingga aparat petugas lain seperti Satpol PP hanya berfokus untuk menertibkan orang-orang seperti dirinya yang dinilai mengganggu pemandangan ibu kota.
"Sebetulnya kayak saya ini sudah bosen ini. Kapan corona ini mau berhenti gitu loh, saya mau cari usaha yang lain. Seandainya saya sudah nggak bisa kerja lagi di proyek," tutupnya.