Lebih lanjut, Dewas menyimpulkan bahwa pimpinan KPK tidak terbukti menyembunyikan informasi mengenai konsekuensi TWK. Sebab, konsekuensi tersebut tidak diatur dalam Perkom 1/2021.
Hanya saja, pegawai KPK untuk dapat diangkat sebagai ASN harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkom 1/2021 yang menyatakan setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah melalui alat ukur TWK yang bekerja sama dengan BKN.
"Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku sebagaimana dilaporkan melanggar Nilai Integritas Pasal 4 ayat (1) huruf a Perdewas Nomor 02 Tahun 2020, tidak cukup bukti," tambah Tumpak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun Dewas tidak menganggap Surat Keputusan (SK) pimpinan KPK Nomor 652 tanggal 7 Mei 2021 tentang penonaktifan 75 pegawai tidak lolos TWK sebagai sebuah persoalan.
Menurut Dewas, SK tersebut tidak berarti bahwa pimpinan KPK mengabaikan putusan MK Nomor: 70/PUU-XVII/2019 tanggal 04 Mei 2021 di mana MK meminta proses peralihan status tak boleh merugikan hak setiap pegawai.
"Tidak benar dugaan pimpinan KPK tidak mengindahkan putusan MK Nomor: 70/PUU-XVII/2019 tanggal 04 Mei 2021 dan terdapat kekeliruan dalam penandatangan SK Nomor 652 Tahun 2021," ucap Dewas.
Sebelumnya, Firli diadukan ke Dewas KPK oleh 75 pegawai tak lolos TWK pada Mei lalu. Kepala Satuan Tugas Pembelajaran Internal KPK nonaktif, Hotman Tambunan, menuturkan ada tiga hal yang melatarbelakangi laporan tersebut.
Pertama, pimpinan KPK tidak jujur saat sosialisasi TWK. Kedua, pertanyaan diskriminasi, seksis dan bermuatan pelecehan terhadap perempuan dalam TWK.
Poin terakhir terkait kesewenang-wenangan pimpinan KPK karena menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos TWK.
(ryn/pmg)