Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Timur turut merespons pesan Tokoh Madura Firman Syah Ali yang mengomentari tentang situasi pandemi di Pamekasan, Madura, dengan menyinggung peristiwa pandemi Flu Spanyol seabad lalu.
"Apa yang dituliskan mas Firman adalah gambaran dari betapa luar biasanya effort yang dibutuhkan untuk edukasi Covid-19," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Jatim dr Makhyan Jibril Al-Farabi, Senin (2/7).
Menurut Jibril, masyarakat di Pulau Madura, saat ini sedang mengalami pandemic fatigue (kelelahan pandemi) atau kondisi seseorang lelah dengan ketidakpastian kapan sebuah pandemi akan berakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu menyebabkan terjadinya action bias dan confirmation bias. Artinya Masyarakat Madura akan menganggap tidak memikirkan dan menyebut Covid-19 sama dengan menghindarkan dirinya dari corona.
Masyarakat Madura juga akan memilah informasi yang mereka suka dan cenderung menghindari realita, bahwa corona berbahaya dan mengancam mereka.
"Padahal informasi [yang mereka percaya] belum tentu benar," ucap dia.
Jibril lalu menyinggung peristiwa pandemi Flu Spanyol yang terjadi seabad yang lalu. Di mana hampir seperempat populasi masyarakat di Pulau Madura menjadi korban.
"Berkaca dari sejarah dan jurnal di Population Studies, disebutkan bahwa diprediksi saat Spanish Flu tahun 1918-1919, 23,7 persen populasi [masyarakat di] Madura meninggal saat pagebluk," katanya.
Tulisan tokoh masyarakat Madura tersebut, kata Jibril juga mengingatkan bahwa selain melawan pandemi, semua pihak juga harus bekerja sama melawan infodemi Covid-19 di Madura.
Ia mengatakan, berdasarkan data Bersatu Lawan Covid-19 per 27 Juli lalu, kepatuhan masyarakat di Pulau Madura pada protokol kesehatan rata-rata di bawah 50 persen dan fluktuatif.
Dengan rincian, Kabupaten Bangkalan di angka kepatuhan 40 persen, Kabupaten Sampang di bawah 40 persen, Sumenep di bawah 30 persen dan Pamekasan di bawah 10 persen.
"Kemungkinan besar memang karena kalau ndak di awasi, ndak ada yang mengingatkan ya longgar lagi prokesnya," kata dia.
Jibril menyebut buruknya kepatuhan ini juga bisa berkaitan dengan rendahnya tingkat literasi dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Wilayah Madura.
"Kalau melihat akar masalah dari literasi Covid-19, ini kan sangat berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusia, IPM di Wilayah Madura termasuk yang rendah di Jatim," ucapnya.
Maka solusinya, harus ada upaya menggandeng ulama untuk mengedukasi masyarakat. Hal itu juga harus tetap perlu diikuti dengan meningkatkan literasi supaya penduduk Madura dalam jangka panjang dan pengawasan implementasi prokes yang berkelanjutan.
"Artinya memang ada faktor sosio kultural yang harus diperhatikan betul betul dalam edukasi Covid-19 di Madura. Oleh karena itu, kami memohon untuk kyai, para keluarga maupun pimpinan di Madura untuk terus melakukan edukasi," kata dia.
Sebelumnya, Tokoh Madura Firman Syah Ali mengaku kaget dengan aktivitas normal warga Madura di tengah wabah Covid-19. Menurutnya, warga di sana menjalankan keseharian seperti tidak dalam situasi pandemi.
Firman bercerita tentang pengalamannya menjalani isolasi mandiri di Dusun Seccang, Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan. Ia sama sekali tidak keluar rumah selama menjalani perawatan mandiri. Begitu selesai Isoman, barulah ia keluar hunian dan terkaget melihat situasi di luar rumah.
"Begitu keluar rumah, saya kaget melihat aktivitas warga normal seperti biasa, padahal berita duka terus bertalu-talu dari ujung ke ujung. Pasar tetap ramai bahkan macet, orang-orang santai ceria tanpa masker, tukang amal masjid teriak-teriak dengan kalimat-kalimat yang lucu," kata Firman dalam tulisannya yang bersedia diurai dan diberitakan, Senin (2/8).
(frd/gil)