Jakarta, CNN Indonesia --
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan memutuskan untuk mengeluarkan angka kematian warga terinfeksi virus corona dari indikator penilaian Covid-19.
Luhut yang merupakan Koordinator PPKM Level 4 Jawa-Bali menyebut keputusan itu dipilih pemerintah lantaran ditemukan masalah dalam input data akumulasi dari kasus kematian beberapa pekan sebelumnya. Ia mengatakan, delay data kematian menyebabkan distorsi penilaian levelling daerah.
Menurutnya alur data pencatatan kematian di Indonesia masih belum real time. Ia mengatakan kematian yang diumumkan harian oleh pemerintah, bukan kumulatif kasus di hari yang sama, melainkan sumbangan beberapa kasus kematian yang terjadi di beberapa hari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian," kata Luhut dalam konferensi pers secara virtual, Senin (9/8) lalu.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai keputusan pemerintah untuk 'melenyapkan' angka kematian dalam perhitungan evaluasi kasus covid-19 merupakan strategi keliru.
Hermawan menilai, apabila data yang bermasalah, sudah sewajarnya hal itu yang diperbaiki pemerintah dibandingkan memakai cara instan menghilangkannya. Angka kematian menurutnya menjadi fundamental dalam parameter pengendalian pandemi covid-19 di suatu daerah maupun negara.
"Rasa-rasanya absurd karena kalau angka kematian dihilangkan dari indikator penilaian itu salah besar. Kalau saya rasa ini jadi paradoks, ini harusnya kalau data yang terlambat atau delay ya pelaporan datanya yang dipercepat atau diperbaiki bukan menghilangkan variabel dalam data hitungan," kata Hermawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (11/8).
Hermawan pun menyayangkan keputusan terbaru itu, padahal pemerintah sebelumnya sudah jelas menetapkan indikator laju penularan melalui tiga variabel yakni kasus konfirmasi positif Covid-19, kondisi tingkat keterisian (Bed Occupancy Rate/BOR) rumah sakit rujukan Covid-19, dan tingkat kematian Covid-19.
Pada tingkat kematian, dalam ketetapan pemerintah sebelumnya diatur level transmisi per 100 ribu penduduk per pekan. Apabila perbandingan jumlah angka kematian 1 maka ditetapkan pada daerah level 1. Kemudian apabila range 1-2 ditetapkan level 2; 2-5 pada level 3; dan lebih dari 5 masuk kategori daerah level 4.
"Jadi itu komponen yang saling berkaitan satu sama lain sebenarnya ya, jangan dipisah atau dihilangkan," ujarnya.
Menurut Hermawan, indikator kasus kematian merupakan sebuah hal yang wajib dalam pelayanan kesehatan, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Itu, kata dia, seperti Gross Death Rate (GDR) dan Net Death Rate (NDR) yang menjadi indikator penilaian kualitas dan mutu pelayanan medis di rumah sakit.
Selain itu, sambungnya, pandemi covid-19 dengan anomali kasus kematian Covid-19 yang meningkat dari pada jenis penyakit lain dalam kurun 17 bulan belakangan di Indonesia ini tidak bisa dianggap remeh temeh baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum.
Kesuksesan pengendalian pandemi Covid-19, kata dia, tidak bisa terlepas dari indikator kasus kematian. Apabila hal itu dikesampingkan, ia khawatir kasus kematian covid-19 di nusantara ini pada akhirnya tak lagi dianggap serius, sehingga pengendalian pandemi di Indonesia akan berjalan dengan peta buta.
"Indikator kematian kaitan dengan mortality rate itu menjadi global standard, dan itu menjadi salah satu indikator yang fundamental, jadi tidak bisa dihilangkan. Jelas-jelas kematian inilah yang menjadi indikator global karena quality of services dilihat dari angka kematian," kata dia.
Persoalan Definisi Kematian
Hermawan pun mengingatkan perihal persoalan data kematian selama pandemi Covid-19 di Indonesia dalam lebih dari satu setengah tahun terakhir. Pemerintah, katanya, selama ini hanya berpusat pada definisi kematian berdasarkan hasil positif PCR swab saja. Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah memperluas definisi kematian Covid-19 hingga mencakup kasus terduga alias suspek dan probable.
Oleh karena itu, dirinya merasa aneh ketika pemerintah malah tak menjadikan lagi kasus kematian Covid-19 sebagai acuan. Sementara sejatinya masih banyak kasus yang under reported alias kasus kematian warga akibat covid-19 yang tidak terdata dan terdeteksi lantaran lemahnya sistem testing dan tracing Indonesia.
"Ini tidak tepat cara berpikirnya ya, dulu bahkan kita berharap variabel angka probable harus dimasukkan, rupanya ini juga tidak kan," ujarnya.
Lebih lanjut, Hermawan menjelaskan bahwa sejatinya data memiliki dua makna dalam pengendalian pandemi. Pertama, data berdasarkan evidence based yang ditujukan untuk kepentingan riset dan publikasi kepada masyarakat guna akuntabilitas dan transparansi kondisi pandemi covid-19 yang terjadi di lapangan.
Kedua, data sebagai sebuah cermin yang dapat digunakan sebagai langkah perbaikan kondisi pandemi dan pengambilan keputusan terkait strategi pengendalian pandemi covid-19 di nusantara. Dengan dua prasyarat itu, Hermawan menegaskan sudah sewajarnya data disampaikan secara sejujur-jujurnya kepada masyarakat.
"Karena dari data tidak mungkin bohong, karena bisa menganalisis situasi. Intinya kalau kasus harian menurun dan kematian meninggi, itu ada yang salah dalam evaluasi, bisa karena testing dan tracing tidak terpenuhi. Dari situ bisa terlihat, bahwa data tidak bisa berdiri sendiri," kata dia.
Buka halaman selanjutnya, paradoks untuk rakyat.
Tak jauh berbeda dengan pendapat Hermawan, kelompok relawan pemantau penanganan pandemi di Indonesia LaporCovid-19 dan Kawal Covid-19 pun menganggap aneh keputusan pemerintah mengeluarkan data kematian dari indikator penilaian penanggulangan pagebluk ini.
Co-Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif juga menilai keputusan pemerintah untuk menghilangkan data kematian pada indikator pengendalian pandemi Covid-19 di Indonesia merupakan sebuah langkah yang gegabah.
Sebab, kondisi dan penanganan kasus kematian Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum maksimal. Bahkan, masih banyak kasus kematian yang tidak dilaporkan di luaran sana. Tentunya, kondisi itu membuat besaran penularan dan kasus kematian Covid-19 semakin tak terkendali di masyarakat.
Ia mencontohkan pada 7 Agustus 2021, LaporCovid19 yang notabenenya merupakan koalisi dari warga, menemukan setidaknya selisih 19 ribu data kematian Covid-19 nasional dengan data kematian covid yang bersumber dari data dinas kesehatan kabupaten/kota.
"Data kita sangat under reported ya dan belum mengikuti panduan WHO. Sudah jelas definisi kematian Covid-19 adalah mereka yang meninggal secara klinis Covid-19, baik itu status probable maupun konfirmasi Covid-19, tapi kita tidak begitu," kata Arif kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/8) malam.
Seperti berjalan dengan peta butaCo-Inisiator LaporCovid-19 Ahmad Arif |
Arif menyebut, banyak negara sudah mulai memperbaiki data perkembangan Covid-19 mereka dengan melampirkan data kematian probable dan suspek Covid-19. Ia mencontohkan China yang semula hanya melaporkan kasus kematian positif Covid-19, namun kini sudah mengikuti anjuran pelaporan data WHO.
Pelaporan data secara transparan menurutnya sangat perlu dilakukan saat ini. Pemerintah dan masyarakat menurut Arif perlu sama-sama mengetahui kondisi riil sebaran kasus Covid-19 baik konfirmasi positif maupun kematian di lapangan.
Dengan begitu, kampanye waspada dan disiplin protokol kesehatan (prokes) Covid-19 dapat dipahami dengan baik. Sementara saat ini, dengan kondisi data yang masih carut-marut, mulai bermunculan kembali masyarakat yang sudah tidak percaya eksistensi virus corona.
"Ini bukan hanya pada kebijakan ya, tapi pada persepsi risiko masyarakat. Kalau masyarakat tidak dapat gambaran sesungguhnya mengenai situasi pandemi ini, bagaimana kita mau mengajak mereka taat prokes, kita mau ajak waspada, sementara data yang diberikan bukan data sesungguhnya. Jadi seperti berjalan dengan peta buta," kata dia.
Selain data, Arif juga menyinggung penanganan kasus kematian Covid-19 oleh pemerintah yang masih belum optimal.
Meski pemerintah melaporkan kondisi rata-rata keterisian rumah sakit telah menurun hingga 54,35 persen per laporan Satgas kemarin, kondisi itu paradoks dengan kasus kematian Covid-19 terutama pada pasien yang menjalani isolasi mandiri (isoman).
LaporCovid-19 mencatat sebanyak 3.007 pasien terpapar virus corona meninggal dunia saat menjalani isoman, laporan itu merupakan data terbaru per 7 Agustus. Arif menyebut, data tersebut diperoleh dari tiga sumber.
Pertama, data laporan yang diterima oleh tim relawan Lapor Covid-19, kemudian data kedua diperoleh dari komunitas yang berasal dari lembaga CISDI, dan data ketiga didapatkan dari data pemerintah yang hanya bersumber dari dinas provinsi DKI Jakarta.
Dengan temuan itu, maka terlihat bahwa klaim kasus Covid-19 yang disebut pemerintah menurun nyatanya masih semu. Sebab, apabila kasus turun, maka seharusnya kasus kematian juga menurun. Kondisi ini juga merupakan implikasi dari rendahnya cakupan testing dan tracing yang dilakukan pemerintah saat ini.
"Jadi jangan mengendalikan pandemi dengan data dan informasi, tapi kendalikan pandemi dengan sebenar-benarnya, dengan transparan," ujar Arif.
[Gambas:Photo CNN]
Halaman selanjutnya cara mengatasi delay data
Dihubungi terpisah, Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi memberikan sejumlah solusi agar pelaporan kasus kematian Covid-19 di Indonesia tak melulu harus ada data tertunda (delay) dan berbeda data antara daerah dan pusat. Utamanya, pemerintah menurutnya perlu menghapuskan opsi verifikasi berjenjang yang dilakukan selama ini.
Elina menjelaskan, dalam praktiknya pemerintah mendapatkan data kematian Covid-19 melalui alur yang panjang.
Pertama, laboratorium pemeriksaan Covid-19 melaporkan data kepada Dinkes Kabupaten/Kota, kemudian Dinkes melaporkan ke Dinkes Provinsi, dan selanjutnya berjenjang melaporkan ke Kementerian Kesehatan melalui aplikasi New All Record (NAR).
Dalam setiap tahapan itu, terdapat verifikasi lanjutan, sehingga kemungkinan jumlahnya akan terus berkurang ketika semakin merujuk ke atas. Sebab sebagaimana diketahui Kemenkes memastikan pelaporan data kematian Covid-19 di Indonesia tidak menghitung kasus probable dan suspek.
"Poin masalahnya karena ada verifikasi berjenjang, padahal yang namanya positif Covid-19 bisa ambil dari laboratorium langsung," kata Elina.
Elina menyarankan kepada pemerintah agar menetapkan definisi kematian serentak baik pemerintah daerah dan pusat, dengan mengikuti standar aturan dari WHO. Bahwa setiap warga yang memiliki gejala klinis, positif Covid-19 meski memiliki komorbid, tetap masuk dalam data kematian.
Elina mengungkapkan pada 2020 lalu ada beberapa daerah yang sengaja mengeluarkan warga terinfeksi Covid-19 dengan komorbid dari data kematian Covid-19 daerah. Pada Kalimantan Barat misalnya, saat itu Kabupaten Sintang melaporkan kumulatif kasus kematian Covid-19 mencapai 131 kasus, sementara data provinsi Kalbar mencatat kasus kematian hanya 125.
Dinkes Kalbar lantas menjelaskan bahwa perbedaan data tersebut terjadi karena ada beda persepsi antara provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota, khususnya di rumah sakit.
Jika ada pasien yang terkonfirmasi positif dan meninggal dunia, pihak rumah sakit di kabupaten dan kota, akan memasukkannya ke dalam data, sebagai pasien meninggal karena Covid-19. Namun, saat data tersebut dikirim ke Satgas Penanganan Covid-19 Kalbar, akan kembali dikaji dan dipelajari rekam medis terkait komorbidnya.
"Jadi kan ini aneh ya ketika data kabupaten/kota lebih besar dari data provinsi itu," kata Elina.
[Gambas:Photo CNN]
Elina juga mempertanyakan fungsi dari rapid test antigen yang resmi digunakan sebagai metode skrining sejak Maret lalu, namun tidak digunakan dalam kasus kematian. Mudahnya, apabila warga tersebut probable, maka rumah sakit dapat melakukan tes rapid antigen sehingga hasilnya dapat keluar secara cepat.
Dengan begitu, status kematian warga tidak perlu menunggu hasil laboratorium PCR swab yang relatif lebih lama. Pun ada akhirnya, data pelaporan dapat dilakukan secara real time.
"Rapid test antigen bisa dipakai seharusnya, dengan begitu tidak ada waktu tunggu. Syukur-syukur kalau negatif Covid-19 bisa dimakamkan tanpa prokes oleh keluarganya jadinya," jelasnya.
Lebih lanjut, untuk solusi kedua, Elina menyebut pemerintah bisa memanfaatkan data rata-rata 7 harian atau 14 harian. Dengan pemodelan itu, grafik kematian Covid-19 dapat dilihat secara jelas naik turunnya atau yang mendekati kondisi di lapangan.
Sementara grafik data kematian saat ini belum tentu menunjukkan kondisi sebenarnya menurut Elina, hal itu juga menjadi keraguan pemerintah sehingga memutuskan menghapus angka kematian Covid-19 dalam indikator penilaian.
Elina menjelaskan, delay data disebabkan karena laboratorium terlambat memasukkan data ke dalam sistem. Delay itu, kata dia, rata-rata biasanya 3-7 hari. Lantas, dengan pemodelan rata-rata 7-14 hari itu, maka menurutnya grafik kasus akan terlihat merata sehingga dapat dianalisis naik-turunnya.
"Kan seperti kasus Jawa sudah turun hampir sebulan, tapi tingkat kematian belum turun. Mestinya kalau kasus turun, 2 minggu kemudian kematian turun, kan banyak yang sembuh dan RS tidak kelimpungan. Ini berarti masih banyak kasus yang telat dideteksi atau malah tidak terdeteksi sama sekali," pungkasnya.