Jakarta, CNN Indonesia --
Dalam satu-dua bulan ke belakang kritik masyarakat meluapkan ekspresinya melalui medium tembok jalanan seperti mural, grafiti, hingga coretan vandal. Coretan dinding yang berisikan kritik maupun kegelisahan tersebut akhirnya banyak yang dihapus aparat baik oleh polisi maupun pemerintah daerah.
Berikut ini beberapa kasus penghapusan mural maupun grafiti di sejumlah daerah, yang bahkan pembuatnya diburu aparat.
1. Mural 'Tuhan Aku Lapar'
Kasus penghapusan mural pertama terjadi di kawasan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang. Mural yang bertuliskan 'Tuhan, Aku Lapar' ini diketahui sempat viral setelah dihapus oleh aparat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapolsek Tigaraksa Kompol Rudi Supriadi mengatakan pihaknya memahami pembuatan mural tersebut hanya untuk untuk menyampaikan aspirasi lewat medium seni coretan di tembok. Pihaknya juga mengklaim telah menyambangi rumah pembuat mural tersebut untuk memberikan bantuan sembako.
"Iya betul. Itu Jumat malam udah kita hapus, petugas dari kita ketika tahu ada mural itu langsung dihapus," jelasnya, Senin, 26 Juli 2021.
 Selain kerap menjadi medium aktivis dalam menyuarakan kritik, coretan di dinding seperti mural juga terkadang digunakan pemangku kepentingan untuk mempercantik kota atau menyampaikan pesan kepada masyarakat dengan pendekatan khas anak muda. (Getty Images via AFP/MARIO TAMA)(CNN Indonesia/Safir Makki) |
2. Mural '404: Not Found'
Kasus penghapusan juga kembali terjadi di daerah Kota Tangerang, tepatnya di Batuceper. Mural tersebut bergambar wajah orang mirip Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang pada bagian mata ditutupi tulisan '404: Not Found'.
'404: Not Found' adalah istilah dalam dunia siber di mana laman yang dituju tak bisa diakses atau memang tidak ada sama sekali.
Mural yang diperkirakan sudah ada sejak Senin (9/8) lalu, lantas dihapus aparat gabungan menggunakan cat warna hitam lantaran dinilai menghina lambang negara.
Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Abdul Rochim mengatakan penghapusan mural tersebut dikarenakan mirip dengan wajah Jokowi. Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah penghinaan lantaran presiden merupakan simbol negara.
"Kami ini sebagai aparat negara melihat sosok Presiden dibikin kayak begitu, itu kan pimpinan negara, lambang negara. Kalau untuk media kan beda lagi penampakan, pengertian penafsiran. Kalau kami, itu kan pimpinan, panglima tertinggi TNI-Polri," saat dihubungi, Jumat (13/8).
Tak cukup sampai di situ, aparat setempat juga sempat menyelidiki perkara dan memburu identitas pembuat mural. "Tetap diadakan penyelidikan, untuk pengusutan gambar-gambar itu. (Pelaku) masih dicari, tetap akan dicari," kata Rochim.
Namun belakangan Kapolres Metro Tangerang Kota Kombes Deonijiu De Fatima menyampaikan pihaknya tidak akan menindaklanjuti kasus mural '404: Not Found'. Selain itu alasan penghapusan mural juga lantaran melanggar peraturan daerah (perda) yang ada.
[Gambas:Video CNN]
3. Mural Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit
Penghapusan mural juga terjadi di daerah lain, seperti yang terjadi di kawasan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Mural tersebut bergambar karakter kartun dengan warna cerah dan dibubuhi tulisan "Dipaksa Sehat di Negeri yang Sakit".
Berdasarkan informasi yang dihimpun CNNIndonesia.com, mural yang terpampang di salah satu tembok rumah kosong tersebut mulai dibuat pada 25 Juli dan rampung pada 2 Agustus 2021.
Mural kemudian dihapus pihak kecamatan setempat sesuai arahan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) pada 10 Agustus.
Kepala Satpol PP Kabupaten Pasuruan Bakti Jati Permana mengatakan, mural tersebut telah melanggar Pasal 19 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2017 tentang ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
Meski berada di tembok rumah kosong, pihaknya menilai lokasi itu tetap sarana umum lantaran berada di tepi jalan. Tidak hanya itu, Bakti juga menilai pesan yang termuat dalam mural itu mengandung provokasi atau penghasutan. Ia khawatir masyarakat akan terhasut pesan mural itu.
"Kalau kami mengartikan provokasi juga, menghasut lah. Sekarang kalau misalnya bahasanya 'Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit' apakah memang negara kita sakit," ujarnya.
4. Mural 'Wabah Sesungguhnya Adalah Kelaparan'
Mural lainnya yang bertuliskan 'Wabah sesungguhnya Adalah Kelaparan' juga sempat muncul di Ciledug, Tangerang, Banten.
Mural yang terpampang di sebuah pintu seng yang berlokasi di Jalan Wahidin Sudiro Husodo, Ciledug, Kota Tangerang kini telah dihapus dengan cara ditutup dengan warna cat lain sehingga tulisan di gambar tersebut tak lagi terlihat.
Petugas kecamatan Ciledug mengklaim penghapusan tersebut dilakukan atas permintaan warga.
"Pas 17 Agustus kita abis apel ada info warga, 'Pak ada tulisan ini nih di pintu masuk lahan yang saya urus, tolong dong dihapus', warga bilang gitu ya kita hapus," ujar Camat Ciledug Syarifuddin saat dihubungi, Rabu (18/8).
Syarifudin mengatakan mural juga dihapus karena tidak ada izin dan dinilai melanggar etika.
Mural serupa juga diketahui sempat muncul di Jalan RE Martadinata, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bernasib sama, mural itu saat ini telah dihapus oleh Satpol PP pada Rabu (18/8) malam.
Aparat beralasan mural tersebut dapat menimbulkan menimbulkan multitafsir dan merusak keindahan ruang publik.
"Tulisan yang ditulis oknum tidak dikenal ini langsung kami hapus. Malam Kamis sudah dilakukan penghapusan dan dilakukan pengecatan ulang," kata Kepala Satpol PP dan Damkar Kota Banjarmasin, Ahmad Muzaiyin, Jumat (20/8).
[Gambas:Video CNN]
Pernyataan Mabes Polri
Amnesty International Indonesia mengkritik cara penanganan aparat terhadap mural tersebut yang dinilainya tak hanya mengancam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, penanganan kasus mural akhir-akhir ini menimbulkan efek gentar pada warga sehingga tidak berani berpendapat kritis walaupun sejauh ini tak ada yang ditetapkan tersangka.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan mural seperti '404 not found' dan poster 'Dipaksa Sehat di Negara Sakit', dan karya-karya serupa merupakan bentuk ekspresi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum HAM internasional maupun konstitusi Indonesia.
"Tindakan kepolisian dan aparat negara lainnya yang berlebihan, termasuk mencari pembuatnya jelas mengancam hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat,"kata Wirya dalam keterangan tertulis, Jumat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, langkah penghapusan mural-mural oleh aparat dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk ekspresi seni di masyarakat.
 Selain menjadi medium yang terkadang digunakan pemangku kepentingan untuk mempercantik kota, para aktivis juga kerap menggunakan coretan dinding untuk meneriakkan kritik pada ketidakadilan seperti yang terjadi di Amerika Serikat (AS) usai tewasnya pria kulit hitam George Floyd oleh polisi. (Getty Images via AFP/MARIO TAMA) |
Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto pada Kamis (18/8) lalu berjanji bahwa Polri tidak akan responsif dan represif terhadap persoalan tersebut sesuai dengan amanat Presiden Jokowi atas pendapat-pendapat kritis.
Dia mengatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah memiliki banyak aturan yang ditujukan kepada jajaran dalam menindaklanjuti perkara-perkara yang berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah dan presiden.
Sebagai pucuk pimpinan reserse di kepolisian, Agus mengatakan bahwa konten-konten satire semacam itu tak perlu ditanggapi secara terlalu reaktif, apalagi sampai diproses hukum. Ia meminta agar masyarakat mengajukan komplain jika ada tindakan polisi yang dinilai membungkam kritik.
[Gambas:Photo CNN]
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyebut mural sebagai karya seni seorang seniman dalam menyalurkan aspirasinya. Namun, kata dia, hendaknya karya seni dalam menyalurkan aspirasi tersebut di tempat yang semestinya.
"Tentunya mural yang dibuat oleh orang dalam bentuk berbagai macam, lukisan itu bentuk ekspresi suatu orang mempunyai seni yang bisa dituangkan dalam bentuk gambar," kata Argo, Jumat (20/8), "Akan tetapi, itu juga harus di tempat yang semestinya."
"Tentunya dari pihak kepolisian sesuai dengan apa yang disampaikan Kabareskrim. Kami tidak represif. Kami hargai ekspresi masyarakat dalam memberikan jiwanya yang dituangkan dalam suatu bentuk karya seni," tutup Argo.
Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai bahwa pimpinan Polri perlu memberi arahan yang lebih lengkap kepada bawahannya terkait kritik kepada Presiden. Pasalnya, masih banyak anggota kepolisian yang reaktif menyikapi isu tersebut.
"Perlu arahan Pimpinan yang lebih komprehensif dan menyentuh satuan wilayah terbawah," ucap Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti, saat dihubungi wartawan, Jumat.
"Saya melihat masih ada anggota yang berparadigma bahwa Presiden tidak boleh dibuat sebagai lelucon. Sehingga bertindak terlalu reaktif. Saya berharap anggota dapat membedakan, mana yang memenuhi unsur memecah belah sehingga mengganggu harkamtibmas dan mana yang merupakan kreativitas kebebasan berekspresi," lanjutnya.
Menurutnya, polisi yang kerap bertindak secara gegabah dalam menyikapi kritik-kritik terhadap Presiden malah menjadi kontra produktif dengan institusi itu sendiri, bahkan hingga menyeret Presiden Jokowi.