Mural lainnya yang bertuliskan 'Wabah sesungguhnya Adalah Kelaparan' juga sempat muncul di Ciledug, Tangerang, Banten.
Mural yang terpampang di sebuah pintu seng yang berlokasi di Jalan Wahidin Sudiro Husodo, Ciledug, Kota Tangerang kini telah dihapus dengan cara ditutup dengan warna cat lain sehingga tulisan di gambar tersebut tak lagi terlihat.
Petugas kecamatan Ciledug mengklaim penghapusan tersebut dilakukan atas permintaan warga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pas 17 Agustus kita abis apel ada info warga, 'Pak ada tulisan ini nih di pintu masuk lahan yang saya urus, tolong dong dihapus', warga bilang gitu ya kita hapus," ujar Camat Ciledug Syarifuddin saat dihubungi, Rabu (18/8).
Syarifudin mengatakan mural juga dihapus karena tidak ada izin dan dinilai melanggar etika.
Mural serupa juga diketahui sempat muncul di Jalan RE Martadinata, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bernasib sama, mural itu saat ini telah dihapus oleh Satpol PP pada Rabu (18/8) malam.
Aparat beralasan mural tersebut dapat menimbulkan menimbulkan multitafsir dan merusak keindahan ruang publik.
"Tulisan yang ditulis oknum tidak dikenal ini langsung kami hapus. Malam Kamis sudah dilakukan penghapusan dan dilakukan pengecatan ulang," kata Kepala Satpol PP dan Damkar Kota Banjarmasin, Ahmad Muzaiyin, Jumat (20/8).
Amnesty International Indonesia mengkritik cara penanganan aparat terhadap mural tersebut yang dinilainya tak hanya mengancam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat, penanganan kasus mural akhir-akhir ini menimbulkan efek gentar pada warga sehingga tidak berani berpendapat kritis walaupun sejauh ini tak ada yang ditetapkan tersangka.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan mural seperti '404 not found' dan poster 'Dipaksa Sehat di Negara Sakit', dan karya-karya serupa merupakan bentuk ekspresi kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum HAM internasional maupun konstitusi Indonesia.
"Tindakan kepolisian dan aparat negara lainnya yang berlebihan, termasuk mencari pembuatnya jelas mengancam hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat,"kata Wirya dalam keterangan tertulis, Jumat.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, langkah penghapusan mural-mural oleh aparat dapat membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk ekspresi seni di masyarakat.
![]() |
Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto pada Kamis (18/8) lalu berjanji bahwa Polri tidak akan responsif dan represif terhadap persoalan tersebut sesuai dengan amanat Presiden Jokowi atas pendapat-pendapat kritis.
Dia mengatakan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah memiliki banyak aturan yang ditujukan kepada jajaran dalam menindaklanjuti perkara-perkara yang berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah dan presiden.
Sebagai pucuk pimpinan reserse di kepolisian, Agus mengatakan bahwa konten-konten satire semacam itu tak perlu ditanggapi secara terlalu reaktif, apalagi sampai diproses hukum. Ia meminta agar masyarakat mengajukan komplain jika ada tindakan polisi yang dinilai membungkam kritik.
Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyebut mural sebagai karya seni seorang seniman dalam menyalurkan aspirasinya. Namun, kata dia, hendaknya karya seni dalam menyalurkan aspirasi tersebut di tempat yang semestinya.
"Tentunya mural yang dibuat oleh orang dalam bentuk berbagai macam, lukisan itu bentuk ekspresi suatu orang mempunyai seni yang bisa dituangkan dalam bentuk gambar," kata Argo, Jumat (20/8), "Akan tetapi, itu juga harus di tempat yang semestinya."
"Tentunya dari pihak kepolisian sesuai dengan apa yang disampaikan Kabareskrim. Kami tidak represif. Kami hargai ekspresi masyarakat dalam memberikan jiwanya yang dituangkan dalam suatu bentuk karya seni," tutup Argo.
Sementara itu, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai bahwa pimpinan Polri perlu memberi arahan yang lebih lengkap kepada bawahannya terkait kritik kepada Presiden. Pasalnya, masih banyak anggota kepolisian yang reaktif menyikapi isu tersebut.
"Perlu arahan Pimpinan yang lebih komprehensif dan menyentuh satuan wilayah terbawah," ucap Juru Bicara Kompolnas Poengky Indarti, saat dihubungi wartawan, Jumat.
"Saya melihat masih ada anggota yang berparadigma bahwa Presiden tidak boleh dibuat sebagai lelucon. Sehingga bertindak terlalu reaktif. Saya berharap anggota dapat membedakan, mana yang memenuhi unsur memecah belah sehingga mengganggu harkamtibmas dan mana yang merupakan kreativitas kebebasan berekspresi," lanjutnya.
Menurutnya, polisi yang kerap bertindak secara gegabah dalam menyikapi kritik-kritik terhadap Presiden malah menjadi kontra produktif dengan institusi itu sendiri, bahkan hingga menyeret Presiden Jokowi.