Pakar epidemiologi memberikan sejumlah catatan dalam pembukaan sekolah untuk kegiatan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) seiring pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3 hingga 2.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan, persoalan buka dan tutup sekolah menjadi hal yang kompleks di tengah pandemi Covid-19 ini.
Penutupan sekolah tatap muka, dikhawatirkan dapat meningkatkan potensi learning loss atau kehilangan minat belajar satu generasi akibat pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, pembukaan sekolah tanpa mitigasi yang matang juga ditakutkan menyebabkan sekolah menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 di masyarakat.
"Memang kompleks ya, karena pada dasarnya penutupan sekolah seharusnya menjadi opsi terakhir dalam pengendalian pandemi ketimbang penutupan mal atau tempat lainnya," jelasnya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (24/8).
Dicky Budiman menerangkan ada sejumlah persiapan yang harus dipenuhi oleh sekolah sebelum dapat kembali melakukan kegiatan PTM kepada siswa.
Pertama, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan setempat bersama sekolah harus terlebih dahulu mempersiapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pelaksanaan PTM. Mulai dari aktivitas pembelajaran yang diperbolehkan dalam PTM hingga kebijakan 'on-off' dan durasi pembelajaran bagi siswa.
Kedua, sekolah juga dinilai perlu menyiapkan infrastruktur pendukung sebelum kegiatan PTM terselenggarakan.
"Seperti infrastruktur ventilasi atau sirkulasi udara yang harus baik, penyediaan tempat sanitasi, serta jaga jarak dalam kegiatan pembelajaran," katanya.
Terakhir, ia juga meminta agar pihak sekolah dapat tetap menerapkan berbagai protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dicky menambahkan, nantinya dinas pendidikan dan kebudayaan setempat juga tetap harus melakukan supervisi dan pengawasan kegiatan PTM di sekolah-sekolah.
Ia pun berharap otoritas terkait juga tidak ragu memberikan sanksi berupa penutupan sekolah untuk sementara apabila ditemukan pelanggaran atau penularan kasus di sekolah selama kegiatan PTM.
"Ini kompleks, tapi worth it ketika kita benar-benar serius. Kita harus serius banget menyiapkan PTM ini. Bukan hanya semangatnya saja, tapi jaring pengamannya juga harus benar," ujarnya.
Di sisi lain, secara terpisah dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menilai sebaiknya pelaksanaan PTM dilakukan secara terbatas pada wilayah yang masuk dalam PPKM level 1 dan 2 saja.
Pasalnya ia menilai, daerah tersebut cenderung aman untuk kegiatan belajar mengajar. Hal ini berdasarkan pada tingkat penularan kasus positif serta kematian akibat Covid-19 yang lebih rendah dan kapasitas rumah sakit yang baik.
"Sebenarnya anak-anak cenderung lebih kuat untuk menghadapi Covid-19. Dari 350,000 kasus positif pada anak, total kematian hanya 777 kasus dan sebagian besar memiliki penyakit kongenital (bawaan)," jelasnya saat dihubungi.
Kendati demikian, bila pemerintah tetap berkehendak agar kegiatan PTM juga dilakukan pada daerah di level 3, ia meminta harus ditunjang dengan cakupan vaksinasi 100 persen di tiap satuan pendidikan atau sekolah.
Sebab tanpa vaksinasi dikhawatirkan mereka yang terinfeksi Covid-19 gejalanya akan lebih berat dan bisa menimbulkan kematian.
"Permasalahan transmisi pada anak adalah belum ada vaksin untuk anak dengan usia di bawah 12 tahun," ujarnya.
Karenanya, ia menyarankan agar untuk daerah di Level 3 pembukaan sekolah hanya dilakukan pada tingkat menengah ke atas saja.
Pemerintah, sambungnya, juga perlu memikirkan pelaksanaan pembelajaran tatap muka untuk Sekolah Dasar dan Taman Kanak-Kanak lantaran belum ada vaksin untuk usia di bawah 12 tahun.
"Bagaimana teknisnya? Apakah mereka jam pelajaran dikurangi? Atau periode sekolah dikurangi?" tambah Masdalina.