Namun, Mahkamah Konstitusi (MK), lewat putusan MK No. 33/PUU-XIII/2015, membatalkan aturannya, salah satunya atas dasar alasan membatasi hak politik warga.
Dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pasal tersebut hanya berisikan kata "dihapus".
Asrinaldi tak sepakat dengan alasan MK tersebut. Menurutnya, pencegahan politik dinasti bisa dilakukan tanpa mencabut hak politik para keluarga pejabat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
"Kalau kita mau mengatur demokrasi jadi lebih baik, norma harus ada. Bukan dalam kerangka mengurangi hak dia sebagai calon pejabat politik," ucapnya.
Senada, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menyatakan pencegahan dinasti politik serupa bisa dilakukan dengan uji materi syarat pencalonan calon kepala daerah (cakada) dalam UU Pilkada.
"Opsi judicial review lagi ada," ujarnya, lewat pesan singkat.
Selain perubahan UU Pilkada, Khoirunnisa menyebut pintu masuk membatasi dinasti politik adalah lewat revisi UU Parpol.
"Misalnya, soal aturan orang yang ingin dicalonkan sebagai caleg/cakada harus melalui proses kaderisasi/pendidikan partai dalam kurun waktu 3 tahun," tuturnya.
Ketentuan ini, lanjutnya, bisa membatasi pihak yang dekat dengan keluarga elite untuk dicalonkan.
Lihat Juga : |
"Jadi tidak serta merta karena dia anggota keluarga dari elite partai langsung bisa dicalonkan dalam pemilu/pilkada. Jadi walaupun dia memiliki kekerabatan dengan elite, setidaknya start-nya sama dengan kader partai yang membangun karir di partai dari bawah," urai dia.
(dhf/arh)