Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah warga menentang wacana amendemen UUD 1945 lantaran berpotensi menghilangkan hak pilihnya dan hanya untuk kepentingan elite. Sebagian lainnya menganggap perubahan konstitusi bisa menghemat biaya pemilihan umum.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo, dalam pidato sidang tahunan MPR 2021, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Agustus, mengatakan amandemen perlu dilakukan dan berfokus pada penambahan wewenang lembaganya untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Beberapa pendukung wacana ini mengklaim PPHN bisa menjadi pedoman pembangunan nasional tanpa terpengaruh perubahan pemerintah. Bamsoet sendiri berdalih PPHN berbeda dengan Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN) era Orde Baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Ivanka Rahma (20), mahasiswi UMN, menolak hak suaranya direbut MPR. (Foto: Arsip Pribadi) |
Sementara itu, para akademisi dan pengamat menilai wacana amandemen ini merupakan kepentingan elite politik lama yang ingin kembali berkuasa dengan cara instan.
Yakni, dengan menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi sehingga bisa memilih presiden. Alhasil, Pilpres langsung pun dihilangkan.
CNNIndonesia.com pun meminta pandangan beberapa warga umum terkait wacana amendemen tersebut.
Ivanka Rahma (20), mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara, menyatakan sistem demokrasi Indonesia saat ini mewajibkan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan presiden.
Baginya, prinsip satu orang satu suara (one man one vote) ini bisa saja hilang dengan amendemen UUD 1945. Vanka pun berpendapat, apabila kondisi ini terus dipaksakan, akan ada lebih banyak masyarakat yang menolak.
"Saya kan masyarakat Indonesia dan WNI juga, suara saya harus turut andil dalam pemilihan presiden. Menurut saya, pemilihan presiden bukan sesuatu yang bisa diwakilkan meskipun sesama masyarakat ataupun petinggi sekalipun," ujar dia, Kamis (2/9).
 Thalita Avivah Yuristiana (22) menyebut wacana MPR kembali jadi lembaga tertinggi tak sesuai dengan semangat reformasi. (Foto: Arsip Pribadi) |
Lebih lanjut, Vanka pun mempertanyakan dalih kebutuhan PPHN sebagai pedoman pembangunan nasional.
Sepengetahuannya, Indonesia sudah mempunyai pedoman pembangunan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Senada, salah satu karyawan swasta di Karet, Jakarta Selatan, Thalita Avivah Yuristiana (22) alias Yuris, mengaku tak sepakat dengan rencana amendemen kelima UUD 1945 yang berupaya mengembalikan esensi GBHN dari masa Orba.
Menurut Yuris, konsep pembangunan ini akan membuat eksekutif bertanggung jawab terhadap MPR terkait pelaksanaan PPHN.
Hal ini menurutnya jelas membuat MPR kembali menjadi lembaga tertinggi dalam pemerintahan, yang menurutnya bertentangan dengan nilai demokrasi dan tujuan reformasi yang sudah susah-susah dicapai.
"Tidak setuju. Karena hal ini tentu bertentangan dengan tujuan reformasi. Terutama adanya indikasi penambahan jabatan presiden dan pemilihan presiden kembali oleh MPR," cetusnya.
Ilham Hermansyah (21), menyatakan tak ada kegentingan untuk mengubah UUD 1945 di mata warga saat ini. Ia pun meminta para pejabat publik fokus pada kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19.
"Kalau urgensinya aja enggak ada, dan bahkan nantinya bisa berdampak ke kewenangan perpanjangan masa jabatan presiden, akan bikin kacau saja. Lebih baik ngurusin hal-hal lain yang lebih penting buat kebutuhan masyarakat," cetus dia.
Ia, yang merupakan penulis lepas itu, pun menyimpulkan bahwa agenda amandemen UUD 1945 hanya lah akal-akalan elite politik saja.
 Ilham Hermansyah (21) menilai agenda amandemen UUD 1945 hanya akal-akalan elite. (Foto: CNN Indonesia/Taufiq Hidayatullah) |
"Soalnya Undang-undang kan untuk diimplementasikan kepada kepentingan publik. Kalau dari publik aja enggak ada kepentingan yang mendesak, ya bisa dibilang ini cuma buang-buang waktu dan cuma akal-akalan elite aja," ujarnya.
Terlebih, salah satu dampak dari penambahan kewenangan MPR adalah membuat lembaga ini dapat memilih presiden serta memperpanjang masa jabatannya.
Di sisi lain, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Adhiva Windra Maulana (20) menilai tak ada yang salah dalam upaya untuk menghadirkan PPHN selama itu dapat dipertanggungjawabkan untuk pembangunan nasional.
 Mahasiswa UPN Veteran Jakarta Adhiva Windra Maulana (20) percaya PPHN bisa menjadi panduan pembangunan. (Foto: CNN Indonesia/Taufiq Hidayatullah) |
"Gue percaya selama isi PPHN-nya jelas dan pemerintah bisa menjalankannya pasti maju ini negara. Gue setuju sih sama konsep PPHN," jelasnya.
Ihwal kemungkinan penambahan periode masa jabatan presiden sebagai konsekuensi penambahan wewenang MPR, Adhiva menganggapnya masih bisa diterima.
Pasalnya, masa jabatan presiden saat ini sangat terbatas. Sehingga, banyak kebijakan yang akhirnya pupus atau berhenti di tengah jalan. Hanya saja, ia menegaskan presiden tetap harus dipilih secara langsung oleh rakyat.
"Enggak setuju lah kalau MPR jadi bisa memilih presiden. Karena kan sistem negara kita berdemokrasi ya, harus ada kita dong rakyat yang milih," ujarnya.
Yanto, seorang pedagang bakso di Matraman, Jakarta Timur, mengaku setuju dengan wacana yang digaungkan Bamsoet tersebut selama tujuannya betul-betul untuk rakyat.
Pria 63 tahun itu juga mengaku tak ambil pusing soal kemungkinan pemilihan presiden oleh MPR. Menurutnya, hal tersebut justru dapat menghemat uang negara.
"Enggak apa-apa [presiden] dipilih [MPR] dan periode [jabatan]-nya diperpanjang, asalkan memang bagus dan berdampak kepada masyarakat, karena kalau dipilih gitu berarti bisa diberhentikan juga kan kalau kinerjanya buruk," tandas dia.