ANALISIS

Amendemen UUD '45 dan Resah Politikus Berelektabilitas Rendah

CNN Indonesia
Rabu, 01 Sep 2021 14:48 WIB
Rencana amendemen UUD '45 dipandang sebagai misi dari elite, oleh elite, untuk elite agar bisa kembali berkuasa tanpa terganjal Pilpres langsung.
Sidang Tahunan MPR 2021, Jakarta, Senin (16/8). Dalam forum ini, sejumlah kepala lembaga negara menggadang-gadang soal amendemen UUD '45. (Foto: ANTARA FOTO/SOPIAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wacana amendemen atau perubahan UUD 1945 dinilai terkait kepentingan elite politik lama yang ingin kembali berkuasa dengan cara instan.

Caranya, menghidupkan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) dalam rupa Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) agar membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi lembaga tertinggi hingga bisa memilih presiden.

Ketua MPR Bambang Soesatyo, dalam pidato sidang tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pertengahan bulan lalu, mengatakan amendemen perlu dilakukan dan berfokus pada penambahan wewenang lembaganya untuk merumuskan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPD La Nyalla Mattalitti pun mengapresiasi rencana itu sebagai langkah pembangunan Indonesia secara berkesinambungan. Usai pidato tersebut Bamsoet mengatakan bahwa kajian PPHN akan selesai di awal 2022.

Pembahasan terkait amendemen UUD'45 juga disebut sempat terjadi saat Jokowi mengundang jajaran pimpinan partai politik (Parpol) koalisi pendukung pemerintah pekan lalu.

Jauh sebelum itu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sudah lebih dulu melempar wacana menghidupkan kembali GBHN. PDIP bahkan menuangkan keinginan amendemen terbatas untuk menambah kewenangan MPR menetapkan GBHN dalam Rekomendasi Kongres V, di Bali, 10 Agustus 2019.

Saat isu ini mengemuka kembali, PDIP memilih menolak isu jabatan presiden tiga periode dan mempertimbangkan soal PPHN.

PPHN atau GBHN, yang pernah ditetapkan MPR di era Orde Baru, ditujukan untuk menjadi panduan pembangunan jangka panjang pemerintah lintas periode.

MPR, yang di masa lalu merupakan lembaga tertinggi negara meski secara riil dikendalikan oleh Presiden kedua RI Soeharto, berhak menetapkan panduan itu serta memilih pasangan presiden-wakil presiden.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari mengungkapkan wacana  amendemen yang mengemuka saat ini merupakan misi elite dengan tujuan politis jangka panjang.

Indikasinya, wacana ini baru disuarakan elite parpol ketika Pemilu 2019 sudah rampung.

"Ini bukan berasal dari publik pemilih, ini berasal dari kepentingan partai politik sebabnya muncul setelah pemilu. Ini indikator yang tidak sehat menurut saya, karena pasti pembicaraannya semata-mata soal kepentingan politik," kata Feri saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (31/8).

"Faktanya, tidak ada di [kampanye] 2019 satu partai pun yang mengambil isu perubahan konstitusi. Lalu mereka terpilih, baru muncul ide perubahan konstitusi itu," tambah dia.

Senada, analis politik dari Exposit Strategic Arif Susanto menerangkan isu amandemen merupakan bagian dari cara politikus konservatif untuk meraih kembali kendalinya di tanah air.

"Politikus-politikus ini tidak ingin kehilangan bentuk kekuasaan yang model lama itu," ucap dia, saat dihubungi.

Halaman berikutnya...

Konsep Usang GBHN

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER